Ini Penyebab Lebih dari 300 Kargo LNG Akan Tidak Terkontrak di 2030



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lebih dari 300 kargo gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) akan menjadi uncomitted cargo atau tidak terkontrak di 2030.

Founder dan Advisor ReforMiner Institute, Pri Agung Rakhmanto menilai salah satu  penyebabnya ialah semakin melimpah produksi gas dan semakin ketat untuk bisa mendapatkan pembeli.

Berdasarkan neraca LNG Indonesia Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dimulai pada 2026 jumlah uncomitted cargo naik signifikan.


Sebagai gambaran, pada 2025 jumlahnya hanya 30,4 kargo kemudian melejit 129% year on year (YoY) menjadi 69,9 kargo. Adapun angka kargo yang tidak terkontrak naik semakin tinggi hingga mencapai puncaknya di 2030 sebanyak 304,6 kargo.

Baca Juga: Awas Badai LNG di 2030, SKK Migas Beri Penjelasan

“Jika banyak kargo tidak memiliki pembeli pasti, maka pihak penjual akan berebut pembeli di pasar spot. Pada posisi buyer-market seperti itu, harga cenderung akan ditekan rendah,” ujar Pri Agung kepada Kontan.co.id, Selasa (7/11).

Melandainya harga LNG ini, lanjut Pri Agung, akan berimbas pada penerimaan negara. Kemudian di sisi operasional, juga bisa terkena dampak jika sampai terjadi pengurangan produksi karena tidak terserap pasar.

Maka itu, pentingnya percepatan pembangunan infrastruktur gas khususnya LNG di dalam negeri seperti terminal regasifikasi, filling, storage, dan pipa transmisi distribusinya.

“Dari neraca gas kan sebetulnya jelas ada potensial demand ke depannya itu, dari sektor industri khususnya. Market dalam negeri mesti diciptakan oleh pemerintah,” imbuhnya.

Selain akan memberikan dampak positif bagi industrialisasi, sejalan dengan transisi energi pemanfaatan gas yang semakin masif dapat mengantisipasi terjadinya uncommitted cargo yang berlebihan.

Pri Agung menyatakan, pemerintah bisa mengintervensi penjualan uncomitted cargo LNG melalui penugasan ke perusahaan pelat merah, seperti ke Sub Holding Gas Pertamina.

Sejalan dengan itu pula, upaya ini harus didukung dengan kebijakan dan insentif fiskal yang konkret dan tidak cukup hanya berhenti pada penugasan dan mengandalkan mekanisme pasar (business to business) untuk bisa berjalan sendiri.

Baca Juga: Tekan impor LPG, Badak LNG Bangun Fasilitas LPBS Senilai US$ 9,4 juta

“Sebab return on investment untuk infrastruktur ini kan seringnya masuk kategori marginal, dengan risiko masih ada ketidakpastian baik dari sisi supply maupun demand,” terangnya.

Pri Agung menjelaskan lebih lanjut, semisal ada penugasan itu harus disertai dengan  kompensasi pengembalian biaya investasi yang layak serta kebijakan harga gas domestik harus mendukung.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari