KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Secara nilai, ekspor dan impor buah Indonesia dalam keadaan defisit. Ini artinya, lebih banyak produk buah impor ketimbang ekspornya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada September 2018, transaksi buah Indonesia mencatatkan defisit sebesar US$ 35,6 juta dibandingkan bulan sebelumnya. Rinciannya, ekspor buah-buahan pada September 2018 sebesar US$ 70,14 juta atau naik 14,38 % dibandingkan bulan sebelumnya di US$ 61,32 juta. Sementara, impor pada bulan tersebut mencapai US$ 105,7 juta atau melonjak 66,46% dibandingkan bulan sebelumnya di US$ 63,5 juta. Sedangkan pada kinerja sembilan bulan pertama 2018, tingkat ekspor buah mencapai sebesar US$ 587,1 juta. Adapun impor buah nilainya mencapai US$ 908,5 juta. Hal ini menunjukkan adanya defisit pada neraca buah sebesar US$ 321,4 juta.
Lebih rinci lagi, impor buah hingga kuartal III tahun lalu mencapai US$ 814,8 juta, yang artinya ada kenaikan 11,5% pada periode sama tahun ini. Sedangkan ekspor buah-buahan pada periode sama tahun lalu mencapai US$ 654,36 juta alias adanya penurunan 10,27% yoy pada periode sama tahun ini. Data BPS mencatat, impor paling besar dari Tiongkok, Australia, Thailand, Amerika Serikat dan dari Pakistan. Buah-buahannya berupa longan atau mata kucing segar, jeruk segar, jeruk mandarin termasuk tangerine dan satsuma segar maupun dikeringkan, lemon segar dan kering, serta buah pir segar. Menurut BPS, defisit terjadi karena minat masyarakat yang masih menyukai produk buah impor ketimbang dalam negeri serta minimnya upaya pengembangan produksi buah dalam negeri. Kalaupun ada ekspor buah, dinilai hanya sementara karena tidak disertai penanganan terpadu dan berkelanjutan. Hal ini diamini oleh Ketua Umum Asosiasi Eksportir Sayur dan Buah Indonesia (AESBI) Hasan Johnny Widjaja. Dia menyampaikan bahwa tren konsumsi buah dalam negeri masih menyukai buah-buah impor ketimbang dalam negeri. Selain karena minat konsumen, juga karena pengembangan varietas buah dalam negeri tidak sekuat asing. "Potensi buah kita besar, namun sayangnya tidak dikembangkan dalam konsep kawasan terpadu sehingga produksi dan ekspornya tidak mengalami kenaikan signifikan," kata Hasan kepada Kontan.co.id, Minggu (21/10). Akibatnya, tanpa pengembangan kawasan terpadu, panen buah-buahan Indonesia menurut Hasan cenderung stabil dan tidak banyak berubah dari tahun ke tahun. Namun Ketua Umum Asosiasi Sksportir Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia (Aseibssindo) Khafid Sirotuddin malah melihat volume impor buah-buahan sebenarnya mengalami penurunan. Tapi nilainya membengkak karena dibebani oleh penurunan nilai rupiah di hadapan dollar. "Data dari anggota kami, dalam tiga tahun terakhir volume impor turun 40-60% setahun karena produksi dalam negeri lebih besar," jelasnya. Sayangnya ia tak merinci besaran volume tersebut. Masuknya industri swasta dalam pengembangan kawasan buah, menurut Khafid, menjadi kunci turunnya volume impor. Hal ini terlihat dari pengembangan kawasan nanas di Lampung yang sukses membuat Indonesia jadi top eksportir komoditas tersebut. Maka bila swasta dan pemerintah bisa mengalihkan minat konsumsi dan produksi masyarakat pada buah dalam negeri, hal itu akan meningkatkan industri buah. "Yang paling penting justru bagaimana Kemtan dan pemerintah daerah menggenjot misalnya cukup lima macam buah tropis khas Indonesia, itu akan otomatis meningkatkan kesejahteraan petani dan produktivitas sehingga bisa mengurangi buah impor," jelasnya.
Kemudian untuk semakin meningkatkan produksi dalam negeri, menurutnya harus dikembangkan konsep kawasan terpadu berupa sistem
one village, one product, one variety. Artinya, pengembangan satu varietas buah unggulan per daerah. Tak hanya itu, Kemtan juga harus berupaya untuk meningkatkan konsumsi buah dalam negeri. Pasalnya berdasarkan panduan gizi internasional, kebutuhan konsumsi buah adalah 50 kg per kapita per tahun, sedangkan konsumsi buah Indonesia bahkan tak sampai 40 kg per kapita per tahun. "Maka dengan menargetkan pertambahan 10 kg per kapita per tahun saja, sudah bisa dibayangkan berapa besar potensial pengembangan lahan, nilai ekonomi dan efek kesehatannya pada masyarakat," jelasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie