Ini penyebab produksi Vale Indonesia (INCO) di 2021 lebih rendah dari target 2020



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Rencana PT Vale Indonesia Tbk (INCO) untuk proyek pembangunan ulang tungku (rebuild furnace) 4 di tahun ini bakal mempengaruhi produksi nikel perusahaan. Asal tahu saja, proyek rebuild furnace 4 tersebut akan berlangsung pada Mei hingga November 2021. 

Chief Financial Officer INCO Bernardus Irmanto mengatakan, volume produksi nikel di tahun ini akan lebih rendah dari 70.000 ton karena semua kegiatan rebuild selama 5 bulan. “Angkanya akan diumumkan kemudian,” kata dia kepada Kontan.co.id, Jumat (8/1).

Sebagai gambaran, Vale Indonesia memproduksi 19.477 metrik ton (MT) nikel dalam matte sepanjang triwulan ketiga tahun 2020. Realisasi ini 4% lebih tinggi dibandingkan dengan volume produksi yang dihasilkan pada kuartal kedua 2020 yang hanya 18.701 MT.


Jika diakumulasikan, produksi nikel Vale Indonesia pada sembilan bulan pertama 2020 mencapai 55.792 MT, atau 10% lebih tinggi dibandingkan dengan produksi pada periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya 50.531 MT. 

Baca Juga: Harga sudah naik tinggi, cermati rekomendasi saham INCO, ANTM, UNTR, MDKA

Tahun lalu, INCO , anggota indeks Kompas100 ini, menargetkan volume produksi sebesar 73.700 metrik ton.

Nah, untuk tahun ini, INCO menyiapkan alokasi belanja modal atau capital expenditure (capex) Sekitar US$ 130 juta. Bernardus merinci, sebagian besar capex ini ditujukan untuk rebuild furnace 4, pengembangan infrastruktur tambang, dan peremajaan alat. Keseluruhan alokasi belanja modal akan didanai dari kas internal perusahaan.

Sementara tahun lalu, penyerapan capex perusahaan ada di kisaran US$ 120 juta seperti yang direncanakan. 

Untuk tahun ini, INCO juga masih berfokus pada dua proyek, yaitu menyelesaikan persyaratan final investment decision (FID) untuk proyek Pomalaa dan Bahodopi.

Untuk menjaga kinerja di 2021, Bernardus berujar langkah-langkah efisiensi telah dilakukan oleh INCO. Secara spesifik, unit biaya operasi di tahun 2020 berada di bawah angka US$ 7.000 per ton. 

“Hal itu merupakan pencapaian yang baik dan salah satu kontribusinya adalah dari langkah efisiensi yang sudah kami canangkan,” pungkas dia. 

Selanjutnya: Sempat pecahkan rekor hingga US$ 40.000, harga Bitcoin merosot lagi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari