Ini Pertimbangan PLN Andalkan Pembangkit Gas untuk Akselerasi Transisi Energi



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT PLN akan mengandalkan pembangkit bertenaga gas sebagai upaya transisi energi. Rencananya pada Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) baru hingga 2040, PLN tidak lagi menambah pembangkit batubara tetapi akan semakin masif membangun pembangkit gas.

Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo menjelaskan, PLN memiliki tiga skenario untuk mengakselarasi transisi energi.

Skenario pertama adalah Business as Usual (BaU) berbasis pada batubara. Skenario kedua, BaU berbasis pada gas.


“Pada gas base scenario tentu saja ini pembangunan pembangkit berbasis gas bisa berjalan sangat cepat yaitu hanya kurang dari dua tahun,” kata Darmawan dalam Rapat Panja dengan Komisi VI DPR RI, Senin (2/10).

Baca Juga: Andalkan PLTGU Blok 3 Muara Karang, PLN Optimistis Jadi Trader Terbesar Bursa Karbon

Dipilihnya pembangkit gas karena emisi yang dihasilkan 60% lebih rendah dibandingkan pembangkit batubara (PLTU). Di sisi lain secara investasi, biaya per-giga watt (GW) hanya sekitar US$ 500 juta.

Menurutnya, biaya tersebut tidak terlalu mahal. Hanya saja kelemahan dari pembangkit gas ialah biaya bahan bakar (fuel cost) yang jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan pembangkit energi terbarukan lain.

Dia memberikan gambaran, dibandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), berdasarkan historical cost, biaya belanja modal (capex) per-GW sebesar US$ 2 miliar atau empat kali lipat dibandingkan dengan capex pembangkit gas.

Namun, biaya operational expenditure (opex) menjadi sangat rendah karena bahan baku pembangkit mengandalkan sumber daya air yang sudah tersedia.

Contoh lain, biaya investasi pembangkit listrik panas bumi (PLTP) rata-rata secara historical cost berkaca pada pengeluaran PT Pertamina Geothermal Energy sebesar US$ 2,7 miliar per-GW. Namun lagi-lagi, biaya sumber listriknya sangat rendah karena memanfaatkan uap panas yang ada di dalam gunung.

“Artinya apa, kalau kita berbicara membangun gas ini capexnya rendah tetapi opexnya tinggi. Atau kita sebut dengan back loaded investment. Tetapi kalau kita membangun PLTA dan PLTP ini adalah front loaded investment di mana capexnya tinggi tetapi biaya opexnya sangat rendah,” jelas Darmawan.

Darmawan bilang, konsekuensi pembangunan pembangkit energi terbarukan ini tentu akan berdampak pada jumlah utang yang harus ditanggung baik itu oleh PLN ataupun pemerintah.

“Tetapi dari sudut pandang levelized of electricitynya mungkin perbedaannya sangat tipis karna kita bisa sudah mengarmotisasi ini selama 25 tahun ke depan,” ujarnya.

Kemudian skenario ketiga, membangun akselarasi energi terbarukan dengan pemensiunan pembangkit batubara atau pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Dalam hal ini PLN akan menambah variabel energi terbarukan seperti PLTS dan PLTB.

“Skenario satu, dua, dan tigalah secara sistem itu visible untuk itu dari simulasi yang sudah kami lakukan akan kami rancang yaitu accelerated renewable energy development dengan pemensiunan PLTU di mana penambahan pembangkit itu berbasis 75%nya EBT dan 25%nya berbasis pada gas,” sebut Darmawan.

Baca Juga: Penuhi Listrik Bersih di Jawa dan Sumatra, PLN akan Bangun Transmisi Ramah Lingkungan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat