KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 26 tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Beleid tersebut diundangkan pada 15 Mei 2023. Juru Bicara Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muryadi menjelaskan, PP tersebut merupakan inisiasi KKP. Pertimbangannya dari aspek ekologi untuk kesehatan laut dan Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertanggung jawab dalam melindungi dan melestarikan lingkungan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Wahyu mengatakan, ekspor bukan tujuan utama. Pemanfaatan sedimenrasi di laut lebih menekankan pemenuhan kebutuhan dalam negeri seperti reklamasi, infrastruktur di laut dan lainnya.
“(Potensi penerimaan negara dari adanya kebijakan ini) Triliunan per tahun,” ujar Wahyu saat dihubungi Kontan, Senin (29/5).
Baca Juga: KKP Menjadikan Rumah Puspita Sebagai Sentra Perikanan Iklusif Wahyu menyebut, pengambilan pasir laut terdahulu terjadi kerusakan lingkungan antara lain karena pengambilannya tidak diatur dan menggunakan alat yang tidak ramah lingkungan. “Sehingga melalui PP ini tata cara/tata kelola pemanfaatan sedimentasi di laut dan alat yang ramah lingkungan itu diatur,” ujar Wahyu. Wahyu menyatakan, KKP akan memastikan para pihak yang melakukan pembersihan sedimentasi di laut benar-benar mengedepankan ekologi untuk memelihara kesehatan laut. Hal tersebut terlihat dari alat yang digunakan harus ramah lingkungan. “PP ini bukan rezim penambangan, tapi pembersihan sedimentasi dengan kedepankan aspek ekologi,” kata Wahyu. Lebih lanjut Wahyu menuturkan, ada peristiwa oceanography yang berakibat terjadinya sedimentasi yang justru merusak biota laut karena menutupi terumbu karang dan lainnya. Menurut kajian akademik, diperkirakan jumlah sedimentasi tak kurang dari 23 miliar kubik setiap tahun. Sedimentasi inilah yang akan dimanfaatkan utamanya untuk kepentingan nasional. Jadi semua reklamasi di tanah air wajib menggunakan pasir sedimentasi tersebut. “Permasalahan yang lebih teknis tersebut akan diatur dalam Peraturan Menteri tersendiri sebagai aturan turunan PP tersebut,” jelas Wahyu. Sementara itu, Ketua DPP PKS Bidang Tani dan Nelayan, Riyono mengkritik keras atas terbitnya PP no. 26 Tahun 2023 tersebut. Riyono menilai, ada beberapa dampak buruk yang akan dialami laut dan efeknya dirasakan oleh nelayan. “Dampak buruknya meningkatkan abrasi pesisir pantai dan erosi pantai. Menurunkan kualitas lingkungan perairan laut dan pesisir pantai,” ujar Riyono dikutip dari pks.id, Selasa (30/5). Menurut Riyono, hal itu juga semakin meningkatnya pencemaran pantai, penurunan kualitas air laut yang menyebabkan semakin keruhnya air laut, rusaknya wilayah pemijahan ikan dan daerah asuhan. Serta, menimbulkan turbulensi yang menyebabkan peningkatan kadar padatan tersuspensi di dasar perairan laut. "Meningkatkan intensitas banjir air rob, terutama di pesisir daerah yang terdapat penambangan pasir laut. Merusak ekosistem terumbu karang dan fauna yang mendiami ekosistem tersebut. Semakin tingginya energi gelombang atau ombak yang menerjang pesisir pantai atau laut," jelas Riyono.
Baca Juga: Semen Padang dan KKP Berkolaborasi Untuk Mengatasi Sampah Laut Hal ini dikarenakan dasar perairan yang sebelumnya terdapat kandungan pasir laut menjadi sangat curam dan dalam sehingga hempasan energi ombak yang menuju ke bibir pantai akan menjadi lebih tinggi karena berkurangnya peredaman oleh dasar perairan pantai. Riyono menyebut, potensi dampak selanjutnya adalah timbulnya konflik sosial antara masyarakat yang pro-lingkungan dan para penambang pasir laut. "Sepuluh alasan di atas memberikan pemahaman kenapa ekspor pasir laut itu dilarang selama 20 tahun. Lalu kenapa tiba – tiba sekarang diperbolehkan?,” tanya Riyono. Riyono mengatakan, konflik akibat penambangan pasir laut sudah banyak terjadi. Kasus 7 maret 2020 di Lampung Timur adanya pembakaran kapal oleh rakyat mengakibatkan konflik antar pengusaha dan masyarakat lokal. “Jika sekarang diperkuat melalui PP maka potensi konflik akan semakin luas dan merugikan nelayan kecil,” kata Riyono. Selain itu lahirnya PP ini diduga banyak kepentingan yang berpihak kepada pengusaha besar. Menurutnya, dasar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tidak sebanding dengan kerusakan yang akan ditimbulkan akibat penambangan pasir laut ini. “Jika PP ini dijalankan maka menjadi ancaman nyata akan hilangnya pulau - pulau kecil dan terluar di NKRI, trus jika banyak kerusakan yang kenapa PP ini terbit? Presiden harusnya membatalkan PP ini,” tegas Riyono. Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan mengatakan, PP 26/2023 sangat jelas dilatar belakangi oleh pertimbangan eksploitatif dan beorientasi bisnis. Mengingat kegiatan penambangan pasir selama ini sudah berlangsung untuk kepentingan dalam negeri. Menurutnya, patut diduga PP ini untuk melegalisasi ekspor pasir laut. Hal itu bertolak belakang dengan komitmen Menteri Kelautan dan Perikanan untuk menjadikan ekologi dan lingkungan sebagai panglima. Suhufan menilai, ada semacam "kamuflase" dalam PP tersebut yang mengedepankan pengelolaan sedimentasi laut. Padahal ada indikasi – indikasi yang akan ditambang justru yang berpotensi sebagai pasir laut. Suhufan mengatakan, saat ini isu yang terbesar terhadap wilayah pesisir dan pulau kecil adalah justru abrasi sebagai akibat perubahan iklim yang telah berdampak besar terhadap kehidupan masyarakat maupun kerusakan sarana dan prasarana. Biaya untuk menanggulangi ini saja tidak mampu oleh daerah dan negara. Suhufan menilai, dengan regulasi ini maka dapat dipastikan abrasi akan semakin besar dan massif terjadi. Lebih lanjut Suhufan mengatakan, pengendalian hasil sedimentasi di laut adalah upaya untuk mengurangi dampak proses sedimentasi di laut agar tidak menurunkan daya dukung dan daya tampung ekosistem pesisir dan laut. Dia menyebut, alam pada dasarnya sudah mengatur siklus secara berimbang. Manusialah yang menyebabkan perubahan yang mengarah ke dampak negatif. “Justru yang harus dikendalikan adalah bukan hasil sedimentasinya, tapi yang menyebabkan sedimentasi tersebut yakni aktifitas dari hulu terutama kegiatan pembukaan lahan untuk tambang dan perkebunan,” kata Suhufan dalam keterangan tertulisnya.
Baca Juga: KKP Sebut Keberhasilan Hilirisasi Rumput Laut di Bali Bisa Dicontoh Daerah Lain Sebagai informasi, Pasal 9 PP nomor 26 tahun 2023 sebagai berikut : Pasal 9 (1) Hasil Sedimentasi di Laut yang dapat dimanfaatkan berupa: pasir laut; dan/atau material sedimen lain berupa lumpur.
(2) Pemanfaatan Hasil Sedimentasi di Laut berupa pasir laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk: reklamasi di dalam negeri; pembangunan infrastruktur pemerintah; pembangunan prasarana oleh Pelaku Usaha; dan/atau ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Pemanfaatan Hasil Sedimentasi di Laut berupa lumpur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat digunakan untuk rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut. (4) Rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan pada lokasi berdasarkan dokumen perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3). (5) Rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan kewajiban Pelaku Usaha. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .