KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Inflasi domestik yang meningkat ternyata disikapi Bank Indonesia dengan mempertahankan suku bunga dan bersikap pro pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut akan membuat volatilitas lebih lanjut pada pergerakan rupiah. Namun BRI Danareka Sekuritas yakin, BI bisa mengatasi dengan menggunakan strategi tiga intervensi. Analis BRI Danareksa Sekuritas Helmy Kristanto dalam riset pada 21 Juli 2022 menjelaskan, penjualan obligasi yang dilakukan BI baru-baru ini juga dimaksudkan untuk mengelola pasokan likuiditas rupiah. Tren rupiah menurut dia akan berkorelasi pada spread imbal hasil, imbal hasil riil dan ekspektasi kenaikan suku bunga. Meski begitu, Helmy bilang perlu ada langkah-langkah kebijakan moneter mengatasi volatilitas mata uang. Apalagi menurut Helmy, inflasi domestik akan tetap meningkat setidaknya hingga September 2022.
Baca Juga: Kinerja Surya Semesta (SSIA) Berpotensi Membaik Pada 2022, Intip Rekomendasi Sahamnya Helmy menjelaskan, potensi kenaikan inflasi tersebut disebabkan aktivitas ekonomi yang lebih cepat, tingginya harga jual rata-rata (ASP) akibat dari biaya yang meningkat serta harga pangan yang bergejolak. "Inflasi inti juga akan menunjukkan tren yang sama, meskipun menunjukkan pola yang lebih jinak dengan skenario Bank Indonesia akan mempertahankan suku bunga," jelas Helmy. BI dianggap masih memiliki ruang untuk memperpanjang sikap
progrowth, dengan mempertahankan suku bunga tidak berubah. BRI Danareksa menganggap, kenaikan suku bunga justru akan membawa risiko jangka pendek bagi rupiah. Helmy memperkirakan, rupiah bisa bergerak ke arah level Rp 15.000 per dollar AS. Karena itu Helmy berpendapat jika operasi moneter yang lebih kuat akan menjadi kunci dalam mengurangi volatilitas mata uang. Apalgi saat ini, fundamental Indonesia masih kuat dengan dukungan dari surplus perdagangan yang besar. Pada Juni 2022, mencatat surplus sebesar US$ 5,1 miliar akibat dari dimulainya kembali ekspor CPO yang mendukung kenaikan dana cadangan devisa. Operasi moneter untuk menjaga volatilitas penting dilakukan karena moderasi harga minyak goreng yang memiliki bobot sekitar 0,9% dalam inflasi. Operasi moneter juga didukung dari lonjakan
foreign direct investment di kuartal II sebesar US$ 10,9 miliar. Ini menunujukkan, arus masuk investor asing lebih stabil. BI memiliki strategi dengan memperkuat operasi moneter rupiah melalui penjualan obligasi pemerintah di pasar sekunder. Ini dengan tujuan untuk mengurangi pasokan atau likuiditas rupiah. Baca Juga:
Prospek Saham Perbankan di Tengah Kenaikan Bunga dan Ekspansi Kredit Memang, menurut Helmy, volatilitas mata uang tetap ada dan rupiah akan ada kisaran atas. Menurut dia rupiah bisa menuju ke Rp 15.200 per dollar AS. "Kami percaya kredibilitas kebijakan BI akan menang untuk mencapai harga dan stabilitas valas ke depan," kata Helmy. Helmy juga percaya bahwa BI akan melakukan transisi moneter yang mulus. "Kami memperkirakan kenaikan suku bunga acuan BI akan terjadi pada semester II-2022 dengan potensi kenaikan bunga 50-75 bps," ujar Helmy. Keputusan BI yang pada Kamis (21/7) tidak menaikkan suku bunga seakan ingin memperlihatkan bahwa Indonesia masih menawarkan imbal hasil riil yang bagus. Tak hanya, Indonesia juga berpotensi memiliki mata uang dengan struktural yang lebih kuat. "Rekening giro dan pengelolaan cadangan valas akan menjadi pendukung langkah-langkah intervensi rangkap tiga BI," tutur dia. Namun menurut Helmy jika tidak mampu menjaga spread imbal hasil US Treasury dan obligasi Indonesia atau imbal hasil riil (yield obligasi Indonesia 10 tahun vs inflasi yang diharapkan) maka akan berdampak pada mata uang. Jika spread imbal hasil obligasi berbeda 100 bps maka akan mengarah pada depresiasi rupiah sebesar 4,3%. Tapi jika spread imbal hasil riil 100 bps akan menyebabkan pelemahan rupiah 5,6% begitu pun sebaliknya.
Baca Juga: Sektor Menara Diprediksi Masih Tumbuh, Cermati Rekomendasi Saham TOWR, TBIG dan MTEL Dengan demikian, kenaikan suku bunga dan langkah-langkah untuk menjaga inflasi yang diharapkan di bawah kontrol. Sebab keduanya sama penting dan menentukan volatilitas rupiah. Kondisi yang tidak menentu karena perubahan faktor makro ekonomi ini maka BRI Danareksa Sekuritas mengaku masih menyukai sektor perbankan, tambang batubara, poultry, telekomunikasi. "Perbankan menjadi sektor yang disukai karena permintaan pinjaman akan meningkat terlebih biaya dana saat ini rendah," jelas Helmy Sektor kedua yang disukai oleh BRI Danareksa Sekuritas adalah saham sektor tambang batubara. Helmy beralasan, margin emiten batubara akan meningkat karena harga batubara yang tinggi. Terlebih pada kuartal II tahun 2022, volume penjualan batubara jauh lebih baik. Sektor ketiga yang disukai adalah sektor unggas (poultry). Harga broiler pasca Lebaran (Mei) jauh lebih tinggi dari yang diharapkan. Hal ini bisa bisa mengimbangi kenakan biaya bahan baku. Empat adalah sektor telkomunikasi. Segmen seluler yang lebih kuat di kuartal II ditopang dari hasil rata-rata pendapatan per pelanggan (ARPU). Sementara saham yang kinerjanya lebih buruk dari yang diharapkan diantaranya adalah konstruksi, properti dan kawasan industri.
Ke depan, BRI Danareksa mengaku lebih memilih saham yang memiliki eksposure kuat di domestik seperti saham perbankan, kebutuhan pokok konsumen, perusahaan telekomunikasi. Sektor ketahanan pangan dan energi seperti komoditas dan unggas juga masih menarik. Sementara itu, saham yang menjadi rekomendasi BRI Danareksa diantaranya BMRI, MYOR, EXCL, JSMR, PTBA dan JPFA.
Baca Juga: Enam Perusahaan Tawarkan Obligasi, Tengok Tawaran Siapa Paling Atraktif Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Avanty Nurdiana