Ini rencana bisnis Adaro Energy (ADRO) tahun depan



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Adaro Energy Tbk membidik target produksi yang stagnan untuk tahun depan. Sama seperti tahun ini, emiten berkode saham ADRO ini menargetkna produksi dikisaran 54 juta ton-56 juta ton sepanjang tahun 2019 mendatang.

Presiden Direktur Adaro Energy, Garibaldi Thohir mengungkapkan, target stagnan tersebut dilakukan untuk mengimbangi kondisi pasar batubara, serta mempertimbangkan tingkat keberlanjutan produksi batubara Adaro.

Apalagi, pria yang akrab disapa Boy Thohir ini menyebutkan bahwa pada tahun 2019 dan tahun 2020 mendatang, proyek Pembangkit Litrik Tenaga Uap (PLTU) Adaro di Kalimantan Selatan dan Batang akan rampung dan membutuhkan pasokan batubara yang berkesinambungan.


"Kita flat saja, 54 juta-56 juta ton. karena kita pikir jangka panjang, longterm, sehingga bisa lebih optmal untuk supply ke PLTU kita," ujar Boy disela acara International Energy Agency (IEA) Coal Forecast to 2023 di Ritz Carlton, Mega Kuningan, Jakarta (18/12).

Proyek ketenagalistrikan yang dimaksud Boy adalah PLTU di Kalimantan Selatan (Kalsel) dengan kapasitas 2x100 Megawatt (MW) dan PLTU yang berlokasi di Batang dengan kapasitas 2x1.000 MW. 

Hingga kuartal III 2018, konstruksi PLTU Kalsel sudah mencapai 96% dan ditargetkan akan rampung tahun depan. Sedangkan pada periode yang sama, progres PLTU di Batang sudah mencapai 57% dan ditargetkan akan selesai pada tahun 2020 mendatang.

Selain PLTU, di sektor ketenagalistrikan, Adaro pun akan mengembangkan energi terbarukan. Antara lain pengembanga Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berdaya 100 KW di wilayah operasi Adaro di Kelanis, Kalimantan Tengah. "terus, kita juga bangun solar panel di Papua," imbuhnya.

Adaro memang tertarik untuk lebih dulu mengembangkan listrik, termasuk sebagai bagian dari proses hilirisasi batubara. Bahkan, Boy bilang, Adaro baru akan mengembangkan hilirisasi batubara dengan skema gasifikasi dan menghasilkan Dimethyl Ether (DME), setelah seluruh proyek listrik, khususnya yang berjenis PLTU telah rampung.

Sebab, Boy menilai bahwa nilai tambah batubara dari PLTU pun juga signifikan, apalagi Adaro telah memulainya sejak tahun 2008 silam. "Saya memang mau, istilahnya itu from pit, to port, to power. Fokusnya masih coal to electricity," katanya.

Kendati demikian, Boy menegaskan bahwa bukan berarti Adaro tidak berminat untuk menggembangkan gasifikasi batubara. Saat ini, studi telah dilakukan, bahkan sejak 4 tahun belakangan.

Namun, pengembangan gasifikasi batubara ini dirasa masih terkendala oleh pasar yang belum terbentuk dan diganjal oleh skala keekonomian. “Saya rasa untuk DME, teknologi saat ini mahal, tapi makin lama makin murah. Pasar siap, pasokan ada, maka nanti kita bisa reduce impor LPG,” ungkap Boy.

Yang jelas, selain untuk batubara dan kelistikan, pada tahun depan, Adaro pun berminat untuk memperkuat lini bisnis air bersih mellaui anak usahanya, PT Adaro Tirta Mandiri (Adaro Water).

Meski tidak menyebutkan detailnya, namun Boy bilang bahwa pihaknya berencana untuk menambah aset instalasi pengelolaan air minum yang saat ini baru ada di tiga lokasi, yakni di di Gresik (Jawa Timur), Banjar Baru (Kalimantan Selatan) dan Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. "Pokoknya setiap ada oppurtunity, kalau ada (tender untuk melakukan pengembangan), kita ikut" ungkapnya.

Adaro Tirta Mandiri sendiri ditargetkan bisa memproduksi 4.000 liter air per detik pada 2022 atau 2023. Saat ini, produksinya baru mencapai di bawah 2.000 liter per detik.

Masih terkait dengan target tahun depan, Boy mengatakan bahwa Adaro belum mau melakukan akuisisi tambang batubara untuk tahun depan. Semenatra terkait dengan proyeksi belanja modal atau capital expenditure (capex), Boy masih enggan untuk menyebutkan angka, kendati menyebut bahwa jumlahnya tak akan jauh berbeda dari tahun ini.

Hingga kuartal III 2018, Adaro mencatatkan produksi sebesar 38,98 juta ton. Sedangkan untuk penjualan sampai September 2018 sebesar 39,27 juta ton. Untuk tahun ini, capex Adaro dipatok sebesar US$ 750 juta hingga US$ 900 juta, dan per September 2018 sudah membelanjakan capex tersebut sebesar US$ 339 juta.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .