Jakarta. Pemerintah berencana uji coba semua proses bongkar muat termasuk surat-surat di Cikarang Dry Port (CDP) pada 1 Desember 2016. Kalangan akademisi menilai optimalisasi pelabuhan darat (
dry port) perlu didukung regulasi pemerintah yang tepat sebagai acuan implementasi di lapangan, sehingga uji coba itu bisa menekan persoalan dwell time. Pakar logistik dan akademisi dari Fakultas Teknologi Industri Institut Teknologi Bandung (ITB) Senator Nur Bahagia menjelaskan optimalisasi peran dry port dalam pembenahan sistem logistik nasional selama ini belum berjalan karena tidak didukung regulasi yang tepat. “Selama ini masih diserahkan pada mekanisme pasar bebas, tanpa dukungan regulasi, sehingga belum optimal peran
dry port,” ujar Senator, dalam keterangan tertulis, Selasa (8/11).
Kondisi itu berbeda dengan Thailand yang sangat peduli dengan pengembangan konsep
dry port. Bahkan regulasi pemerintah Thailand untuk pengembangan
dry port dibuat setingkat perdana menteri untuk memberikan dampak yang lebih luas guna membenahi sistem logistik di negara tersebut. Senator menjabarkan konsep pengembangan
dry port di Indonesia sebenarnya mencontoh apa yang berkembang di Thailand. Peran
dry port untuk melancarkan arus barang di pelabuhan laut yang cenderung
over capacity. “Di sisi lain, terjadi efisiensi dengan adanya
dry port, dibanding mesti membangun pelabuhan laut yang mahal dan butuh waktu lama,” uja Senator. Dia mengakui pernah membahas usulan optimalisasi peran
dry port dalam menunjang sistem logistik nasional ke sejumlah kementerian seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Koordinator Ekonomi, dan Bappenas. “Namun, masalah logistik ini kan multidisiplin sehingga perlu lembaga tinggi negara seperti Presiden yang mampu menyatukan kementerian teknis,” katanya. Di sisi lain, kalangan asosiasi logistik menilai kebijakan Presiden Joko Widodo yang menggalakkan pemberantasan pungutan liar (pungli) mesti dibarengi dengan upaya optimalisasi
dry port yang menopang arus ekspor-impor. Pasalnya, pemberantasan pungli berpotensi meningkatkan waktu tunggu dan bongkar muat kontainer (
dwelling time) sehingga perlu optimalisasi dan sinergi antara pelabuhan laut (sea port) dan pelabuhan darat (dry port) yang berada di kawasan industri. Sekretaris Asosiasi Logistik dan Forwarding Indonesia (ALFI) Jabar, Trismawan Sanjaya, menilai dengan kebijakan pemberantasan pungli, ada potensi waktu bongkar muat akan semakin lama. “Logikanya, pungli berperan sebagai oli pelumas untuk mempersingkat dwelling time.
Begitu pungli ditertibkan, dwelling time berpotensi naik. Pemanfaatan pelabuhan darat ini sangat penting karena membantu kelancaran arus ekspor-impor kepada industri," ujarnya. Atas dasar itulah, Trismawan melihat harus ada dorongan lebih keras sekaligus pemantauan dari pemerintah terhadap sektor logistik nasional sebagai salah satu faktor penunjang perekonomian bangsa ini. Masih tingginya dwelling time di pelabuhan utama terbukti membuat aktivitas perekonomian tersendat. Barang yang sejatinya bisa didistribusikan harus menginap beberapa malam. Menurut dia, solusi yang paling masuk akal yakni memanfaatkan tersedianya
dry port yang tersedia di lokasi industri. Proses kepabeanan atau administrasi seperti karantina dan lainnya bisa dilimpahkan dari pelabuhan laut ke
dry port. Untuk itu, peran pemerintah haruslah jelas dalam mendorong pemanfaatan fasilitas ini. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Adi Wikanto