Ini sederet tantangan investor institusi dalam meningkatkan investasi di pasar modal



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berdasarkan data KSEI per Juli 2021, dana investor institusi di pasar saham mencapai Rp 4.149,3 triliun atau 83% dari total dana investor yang ada, dimana jumlah rekening institusi sebesar 17.352.

Sementara itu, jumlah rekening dari investor individu mencapai 2,57 juta dengan nilai portfolio Rp 861,2 triliun.

Meski demikian, Presiden Direktur Schroders Indonesia Michael T. Tjoajadi melihat, fenomena beberapa waktu terakhir seakan-akan investor ritel menyetir pergerakan transaksi harian.


Ia menerangkan, hal ini karena investor institusi memiliki karakter investasi jangka panjang. “Kalau kita lihat dari karaternya investor institusi ini, kita membutuhkan lebih banyak lagi investor institusi untuk membawa pasar modal kita lebih besar,” bebernya dalam acara Capital Market Summit & Expo (CMSE), Jumat (15/10).

Menurutnya, belakangan ini banyak investor institusi yang berpikir bahwa kondisi pasar modal Indonesia kurang menguntungkan akibat pandemi Covid-19. Sehingga mereka tidak menambah porsi penempatan dana ke pasar modal.

Baca Juga: BPJS Ketenagakerjaan tempatkan 20% dana kelolaan ke instrumen saham

Michael bilang, hal tersebut tercermin dalam data dimana jumlah dana pensiun di dalam reksadana ataupun pasar saham tidak mengalami kenaikan yang signifikan dari tahun 2014 hingga saat ini.

“Di tahun 2014, total investasi di pasar saham dari dana pensiun hanya kurang lebih Rp 28 triliun dan pada akhir tahun 2020 hanya Rp 32 triliun,” tambahnya.

Michael memperkirakan hal tersebut dikarenakan pergerakan pasar yang ada. Nah, beberapa hal yang perlu diperhatikan sekarang ini salah satunya regulasi. Ia menilai regulasi sekarang ini menjadi penting karena menjadi koridor bagaimana investor melakukan investasi.

Jika regulasi tidak jelas, katanya, ini akan menyebabkan banyak hal seperti konsuekuensi hukum maupun keuangan.

“Konsekuensi hukum yang selalu menjadi sangat besar diperhatikan oleh investor institusi, terutama yang berkaitan dengan pemerintah. Yang masih memiliki penyertaan modal pemerintah maupun dana-dana pensiun BUMN,” papar Michael.

Sebelumnya, Direktur Pengembangan Investasi BPJS Ketenagakerjaan Edwin Ridwan memaparkan bahwa dalam tata kelola investasi ada regulasi yang diatur seperti batasan jenis instrument investasi, batasan penempatan per jenis instrument investasi, dan tingkat kesehatannya.

Sehingga menurut Michael, hal tersebut menjadi salah satu tantangan dalam berinvestasi dan harus dibenahi. Oleh karena itu, peraturan-peraturan yang ada harus diperbarui agar lebih fleksibel dengan keadaan yang ada.

“Sehingga, para pegelola dana pensiun BUMN ataupun penyertaan pemerintah lebih fleksibel, dalam artian investasi bisa untung dan rugi. Mudah-mudahan ini tidak seperti peraturan lama yang selalu dipermasalahkan dan dipertanyakan,” jelasnya.

Baca Juga: Ekonomi berangsur pulih, saham-saham ini bisa dilirik

Kedua, Michael menjelaskan perusahaan-perusahaan pendatang baru dari tahun 2020 hingga 2021 mayoritas dengan emisi kecil. Padahal, investor institusi tentu menyasar perusahaan dengan size yang besar sebagai pilihan.

Pada tahun 2021, salah satu perusahaan jumbo yang berhasil melantai di Bursa Efek Indonesia adalah BUKA dengan nilai emisi Rp 21,9 triliun atau setara 68% dari total nilai emisi Rp 32,14 triliun.

“Sayangnya, Bukalapak jadi tantangan bagi dana pensiun karena ada aturan jangan membeli saham perusahaan yang masih rugi,” tambah Michael.

Di lain sisi, sebagian besar perusahaan teknologi jumbo yang dikabarkan akan menggelar IPO masih merugi. Lagi-lagi, investor institusi terhadang tantangan untuk menempatkan dana kelolaannya.

Dengan demikian, ia mengharapkan agar ada peraturan yang lebih fleksibel yang memberikan peluang untuk dana pensiun berinvestasi.

Selanjutnya: Saham sektor teknologi diprediksi tumbuh pesat dalam beberapa tahun ke depan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi