KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lebaran menjadi momentum untuk berkumpul bersama keluarga besar. Salah satu yang tak terpisahkan dari perayaan ini biasanya adalah makan bersama. Hidangan yang identik menemani Lebaran adalah ketupat. Ketupat menjadi makanan yang selalu ada di meja makan di masa Lebaran. Terbungkus apik dengan janur berwarna hijau kekuningan, ketupat sangat cocok dipadukan dengan masakan berkuah lainnya. Namun, ada makna yang terkandung dalam ketupat yang sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Muslim di Nusantara. Ada filosofi kuat, kenapa tradisi memakan ketupat saat Lebaran masih dilaksanakan sampai sekarang.
Sejarawan Universitas Padjadjaran Bandung, Fadly Rahman, mengungkapkan bahwa awalnya ketupat bukan identik dengan tradisi Islam atau Lebaran. "Ketupat sudah ada pada masa pra-Islam dan tersebar di wilayah hampir di Asia Tenggara dengan nama yang berbeda-beda. Selain itu, ketupat juga identik dengan tradisi animisme," ujar Fadly kepada Kompas.com, Kamis (30/5). Dulu masyarakat agraria yang tersebar di Nusantara memiliki tradisi menggantung ketupat di tanduk kerbau untuk mewujudkan rasa syukur karena panen yang dihasilkan. Tak berhenti di situ, sampai sekarang juga masih ada tradisi dari masyarakat Indonesia yang melakukan tradisi yang sama dengan menggantungkan ketupat. Bedanya, mereka menggantungkan ketupat yang masih kosong di depan pintu rumah untuk menolak bala atau pengaruh negatif yang masuk. Pengaruh Sunan Kalijaga Pada abad ke-15 dan ke-16, Sunan Kalijaga sebagai salah satu pendakwah di Pulau Jawa menggunakan budaya untuk menyiarkan agama Islam. Ajaran Islam yang disyiarkan oleh Sunan Kalijaga terbilang berhasil karena melalui pendekatan yang banyak perhatian masyarakat. Menurut Fadly, karena ketupat identik dengan masyarakat agraria, Sunan Kalijaga mengkreasikan makanan itu sebagai kuliner yang khas dengan momen Lebaran. Cara inilah yang dianggap menarik minat masyarakat Jawa terhadap Islam. "Titik tolaknya ketika Sunan Kalijaga menyebarkan Islam di kalangan masyarakat Jawa yang saat itu masih transisi beragama Islam," ucap Fadly. Melalui langkah tersebut, banyak sejarah lisan yang berkembang, yang mengatakan bahwa Sunan Kalijaga yang kali pertama menggunakan ketupat sebagai aksesori khas Lebaran. Tiap-tiap daerah di Nusantara memiliki penyebutan sendiri untuk makanan ini. Di masyarakat Jawa dan Sunda, biasanya mereka menyebutnya dengan nama kupat. Sementara di Melayu disebut ketupat. Masyarakat Bali juga mengenal makanan ini dengan nama tipat. "Pada wilayah lain ada juga yang menyebutnya ketumpat," ucap Fadly. Makna ketupat Secara terpisah, sejarawan Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Rojil Nugroho Bayu Aji, mengisahkan hal senada. Ketupat memang semula diperkenalkan Sunan Kalijaga meski sebenarnya bukan tradisi Timur Tengah yang menjadi sumber datangnya Islam. "Ketupat ini dari tradisi lisan (cerita rakyat) mulai familiar saat Sunan Kalijaga dan nilai filosofinya tak ada kaitannya dengan Islam," kata Rojil saat dihubungi Kompas.com, Kamis (30/5). Masyarakat Jawa dan Sunda percaya bahwa ketupat memiliki makna untuk mengakui kesalahan. "Maknanya, 'kulo lepat, ngaku lepat' (Saya salah, saya mengakui kesalahan)," kata Rojil. Artinya seseorang bisa mengakui kesalahan kepada orang lain apabila mereka pernah berbuat salah. "Apabila setelah mengaku salah, lepat, dan minta maaf jadi ya harus menutup kesalahan yang sudah dimaafkan sehingga kekerabatan serta persaudaraan terjalin selalu," ujar Rojil.
Maka dari itu, ketupat begitu erat saat Lebaran. Makanan ini juga dipadukan dengan hidangan lain yang terpengaruh dari berbagai budaya di luar Nusantara. Pengaruh itu seperti kuah kari yang dipengaruhi kuliner India, gulai yang dipengaruhi Arab, balado dari pengaruh Portugis, semur dan kue kering dari pengaruh Belanda juga Eropa, dan manisan dari pengaruh China.
(Aswab Nanda Prattama) Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
Sejarah dan Tradisi Makan Ketupat Saat Lebaran... Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati