Ini sejumlah alasan energi nuklir seharusnya tidak dicantumkan di RUU EBT



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menimbulkan kontroversi lantaran sektor nuklir turut dimasukkan ke dalam calon beleid tersebut. Ini mengingat energi nuklir dinilai tidak cocok untuk dikembangkan di Indonesia.

Peneliti Yayasan Indonesia CERAH Mahawira Dillon mengatakan, pada dasarnya nuklir bertolak belakang dengan semangat Indonesia yang ingin keluar dari ketergantungan energi berbasis fosil dan tidak ramah lingkungan.

Dengan mengutip data Badan Tenaga Nuklir Indonesia (Batan), dia menyebut, saat ini cadangan terukur uranium di Indonesia berjumlah 1.608 ton, sedangkan cadangan uranium terindikasi sebesar 6.456 ton. Indonesia juga memiliki cadangan uranium tereka sebesar 2.648 ton dan cadangan uranium hipotetil sebesar 59.288 ton. Sehingga secara keseluruhan total cadangan uranium di Indonesia mencapai 70.000 ton.


Namun, hal tersebut bukan berarti nuklir menjadi sumber energi yang prospektif untuk dikembangkan di Indonesia.

Hitungan Mahawira, jika Indonesia membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) berkapasitas 1.000 MW, maka uranium yang dibutuhkan mencapai 244,68 ton per tahun. “Dengan jumlah itu ternyata pasokan uranium yang ada hanya bisa mengoperasikan PLTN 1000 MW selama 6 tahun-7 tahun saja,” ujar dia dalam webinar, Rabu (23/9).

Baca Juga: DPR didesak untuk keluarkan isu nuklir dari RUU energi terbarukan, kenapa?

Sekadar catatan, kebutuhan listrik Indonesia di tahun 2025 berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) mencapai 135 GW.

“Katakanlah 135 GW itu seluruhnya berupa PLTN 1000 MW, kemudian dihitung dengan total cadangan uranium dan kebutuhan per tahun, maka cadangan uranium Indonesia hanya cukup sekitar 2 tahun saja,” kata Mahawira.

Selain itu, dari segi geografis Indonesia kurang ramah dengan nuklir. Ini mengingat Indonesia terletak di kawasan “ring of fire” yang memungkinkan terjadinya aktivitas vulkanik dan tektonik secara berkala.

Berkaca dari Jepang, meski negara tersebut membangun dinding pertahanan yang kokoh untuk PLTN Fukushima, nyatanya PLTN tersebut juga mengalami kerusakan akibat terjangan tsunami di tahun 2011 lalu.

Penyimpanan limbah PLTN juga memerlukan lokasi yang stabil dan kedap air. Hal ini sulit terwujud di Indonesia yang beberapa kali mengalami gempa bumi dan gunung meletus sehingga berpengaruh pada permukaan tanah yang jadi penyimpanan limbah tersebut.

“Kalau berdasarkan levelized cost of electricity (LCOE), biaya energi beberapa sumber energi terbarukan lebih murah dibandingkan energi nuklir,” tambah Mahawira.

Lebih lanjut, PLTN sejatinya mulai memasuki masa senjakala secara global. Mahawira menuturkan, persentase listrik di dunia yang bersumber dari PLTN turun dari 17% di tahun 1996 menjadi 10,5% di tahun 2018.

Saat ini pun hanya terdapat 415 PLTN saja yang beroperasi di dunia dengan rata-rata usia operasional PLTN selama 30,3 tahun. Selain itu, terdapat 186 PLTN yang ditutup permanen dan 96 konstruksi PLTN yang dihentikan.

Selanjutnya: Pengembang PLTN menilai ada pasal selundupan dalam RUU EBT

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat