KONTAN.CO.ID - NEW YORK. Otoritas perbangan Amerika Serikat alias the Federal Aviation Administration (FAA) mengatakan telah mengidentifikasi adanya kesamaan antara kecelakaan Ethiopian Airlines dengan Lion Air beberapa bulan sebelumnya. Sejumlah pihak lain juga mengatakan hal yang serupa. Hingga saat ini memang belum ada pernyataan resmi yang menjelaskan persamaan dari kedua insiden kecelakaan pesawat Boeing 737 Max 8 yang mematikan tersebut. Namun dilansir dari
CNN, sejumlah pengamat penerbangan mengungkapkan sejumlah kesamaan tersebut. Pertama, tentunya adalah jenis pesawat yakni Boeing 737 Max 8. Boeing 737 Max 8 adalah model baru yang diluncurkan oleh raksasa penerbangan AS tersebut sekitar dua tahun lalu. Ada sekitar 350 pesawat Boeing 737 Max 8 yang beroperasi di seluruh dunia yang dimiliki oleh 54 operator.
Situs web Boeing mengatakan 737 Max adalah pesawat dengan penjualan tercepat dalam sejarah perusahaan, dengan sekitar 5.000 pesanan dari lebih dari 100 pelanggan di seluruh dunia. Kedua adalah waktu kejadian. Pesawat Boeing 737 Max 8 milik Ethiopian Airlines dengan nomor penerbangan 302 jatuh pada 10 Maret pagi setelah enam menit lepas landas dari Addis Ababa dalam perjalanan ke Nairobi, Kenya. Di sisi lain penerbangan nomor 610 milik Lion Air jatuh ke Laut Jawa pada 29 Oktober 2018 juga setelah tiga belas menit lepas landas dari Jakarta. Persamaan ketiga adalah soal perangkat lunak yang sama-sama digunakan oleh kedua pesawat yang jatuh tersebut. Kedua pesawat tersebut dilengkapi dengan perangkat lunak penerbangan otomatis yang disebut
Maneuvering Characteristics Augmentation System (MCAS), fitur yang relatif baru untuk pesawat Max Boeing. MCAS adalah sistem yang secara otomatis menurunkan hidung pesawat ketika menerima informasi dari sensor
external angle of attack (AOA) bahwa pesawat terbang terlalu lambat atau curam. Sensor AOA mengirim informasi ke komputer pesawat tentang sudut hidung pesawat terhadap aliran udara di atas dan di bawah sayap untuk membantu menentukan apakah pesawat akan mengalami
stall. Jean-Paul Troadec, mantan kepala biro investigasi kecelakaan penerbangan Prancis, mengatakan kepada
CNN bahwa ia melihat kekurangan dalam sistem tersebut. "Saya pikir desain sistem ini tidak memuaskan karena hanya mengandalkan satu sensor. Jika sensor ini gagal, tentu saja sistem tidak bekerja secara keseluruhan. Dan dalam kasus ini mungkin sulit bagi pilot untuk bereaksi dengan tepat," katanya. Persamaan berikutnya adalah soal awak. Kedua pesawat tersebut memiliki awak yang berpengalaman. Ethiopian Airlines menyebut
co-pilot dalam pesawat tersebut memiliki 350 jam waktu terbang, sementara sang pilot punya 8.100 jam terbang.
Di sisi lain pilot Lion Air yakni Bhavye Suneja yang merupakan warga negara India, memiliki lebih dari 6.000 jam terbang. Sementara kopilotnya, Harvino, telah mencatat lebih dari 5.000 jam terbang. Persamaan terakhir adalah kedua pilot pesawat tersebut melaporkan adanya masalah. CEO Ethiopian Airlines Tewolde GebreMariam mengatakan bahwa pilot Ethiopian Airlines mengaku mengalami kesulitan dalam mengendalikan pesawat dan diminta untuk kembali ke pangkalan. Di sisi lain, laporan pendahuluan oleh Komite Keselamatan Transportasi Nasional Indonesia mengatakan awak Air Lion dalam penerbangan bernomor 610 berjuang untuk mengakali sistem otomatis pesawat di menit-menit sebelum jatuh ke laut. Sistem itu menarik hidung pesawat lebih dari 24 kali. Laporan itu mengatakan sistem MCAS merespons data yang salah yang dikirim oleh sensor AOA. Seorang awak pesawat yang berbeda mengalami masalah yang sama pada penerbangan dari Denpasar ke Jakarta pada sehari sebelumnya, tetapi telah mematikan MCAS dan mengambil kendali ke mode manual.
Editor: Tendi Mahadi