Ini sejumlah tantangan yang masih dihadapi BPR



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebut bahwa industri Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) menghadapi tantangan baik dari sisi eksternal maupun struktural. 

Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana bilang, dari sisi eksternal, terdapat perubahan ekosistem global dan nasional yang ditandai dengan perubahan perilaku masyarakat terhadap inovasi dan layanan.  

"Kemudian perkembangan teknologi informasi (TI) di bidang keuangan serta besarnya investasi pada infrastruktur TI," kata Heru, dalam Launching Roadmap Pengembangan Industri BPR dan BPRS 2021-2025, Selasa (30/11).


Selain itu, bank juga menghadapi tantangan struktural karena masih didominasi pemain berskala kecil, penerapan tata kelola yang masih perlu ditingkatkan, keterbatasan infrastruktur TI, kuantitas dan kualitas SDM, serta produk serta layanan yang masih bersifat produk sentris. 

Baca Juga: Digitalisasi dan peningkatan dana murah membuat perbankan makin efisien

Tak hanya itu, persaingan diantara lembaga keuangan pada segmen Mikro Kecil Menengah (MKM) terbilang cukup ketat dengan adanya shadow banking, kemunculan fintech dengan keunggulan teknologi dan pengaturan yang relatif lebih longgar.

Kemudian produk dan layanan digital bank umum yang masuk area bermain BPR dan BPRS. Mereka menyediakan layanan yang jauh lebih beragam serta adanya program kredit ultra mikro seperti KUR. 

Ditambah lagi, kondisi pandemi Covid-19 juga menjadi tantangan jangka pendek bagi BPR dan BPRS terutama terkait kesiapan industri dalam menghadapi dampak serta kebijakan OJK terkait pandemi.

Dari sisi internal, terdapat tantangan struktural terkait permasalahan permodalan, tata kelola, infrastruktur, keterbatasan variasi produk dan layanan, serta peran BPR dan BPRS bagi perekonomian wilayah. 

Baca Juga: BNI kucurkan kredit investasi sebesar Rp 1 triliun kepada Garudafood

Tekanan selanjutnya terkait himpitan persaingan dari hulu ke hilir, di antaranya pinjaman bersubsidi dari pemerintah seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR). Selanjutnya, tantangan terbentuknya holding ultra mikro, munculnya shadow banking dan persaingan dengan produk-produk digital bank umum yang mulai merambah ke pasar BPR.

Namun di sisi lain, BPR dan BPRS masih memiliki peluang yang besar dalam memberikan kredit atau pembiayaan bagi usaha mikro. Lebih dari 99% unit usaha di Indonesia terdiri dari UMKM. Namun baru sekitar 24% diantaranya yang memiliki rekening kredit. 

Heru menyebut, sebanyak 85% pelaku UMKM yang belum mengambil langkah digitalisasi. Padahal, kanal digital memiliki potensi yang besar dengan memanfaatkan platform e-commerce dalam mendukung ekonomi digital. "Hal ini sejalan dengan kebijakan pemerintah ke depan untuk memberikan akses  pembiayaan UMKM ke lembaga keuangan formal 30% dan 30 juta UMKM go digital tahun 2024," tutupnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi