JAKARTA. PT Bank Mutiara (BCIC) menyatakan akan segera menyelesaikan persoalan kredit macet debitur kelas kakap yang menghentikan cicilan sejak Mei 2013. Hal itu disampaikan oleh Sekretaris Perusahaan Bank Mutiara Rohan Hafas bilang di Jakarta, Selasa (24/12). Rohan mengungkapkan, saat ini pihaknya tengah melakukan pemeriksaan dokumen terkait utang ataupun kredit debitur, terutama yang berkaitan dengan restrukturisasi perusahaan yang dilakukan oleh PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI). Sebelum dilakukannya restrukturisasi dan revitalisasi oleh pemerintah pada Oktober 2012, TPPI ysng dipimpin oleh Honggo Wendratno memiliki utang US$ 1,8 miliar. Dari total utang itu, sebesar US$ 1,1 miliar merupakan utang kepada pemerintah.
Setelah restrukturisasi, dari total utang sebesar US$ 1,8 miliar itu, utang sebesar US$ 1 miliar dikonversi dalam bentuk mayoritas saham sebesar 52% yang merupakan milik pemerintah melalui PT Pertamina dan SKK Migas. Sisanya, sebesar US$ 500 juta masih dalam bentuk utang kepada pemerintah dan sejumlah US$ 300 juta merupakan utang kepada pihak lain, salah satunya adalah utang kepada Bank UOB Singapura sebesar US$ 90 juta. "Seluruh kasus ini merupakan warisan manajemen Bank Century saat dipimpin oleh Robert Tantular. Saat itu, kucuran kredit diberikan kepada satu obligor perusahaan di bawah tanggung jawab Honggo Wendratno, yang pada saat ini adalah pemilik TPPI. Kami saat ini sedang memeriksa kembali dokumen-dokumen utang yang kami miliki, karena pada saat grup TPPI direstrukturisasi PPA, utang-utang yang di bawah tanggung jawab obligor Honggo tidak ikut di restrukturisasi. Akibatnya utang itu masih ada di Bank Mutiara. Ini yang ingin kami komunikasikan dengan TPPI secepatnya," jelas Rohan. Rohan bilang, indikasi kredit bermasalah ini dimulai pada Mei 2013. Namun, kredit itu baru dikatakan benar-benar macet pada Agustus 2013 lalu. Hal ini karena, hitungan kolektibilitas memiliki keterlambatan waktu atau
lag selama tiga bulan. Jadi, saat Bank Mutiara menghitung,
asset quality yang bermasalah pada Mei 2013, hitungan kolektibilitas debitur itu berada pada level 2. Namun memasuki Agustus 2013, tingkat kolektibilitas debitur itu naik menjadi level 5. Ia juga menjelaskan, saat pemberian kredit kepada kelima debitur kelas kakap bermasalah itu, terdapat jaminan dari perusahaan yang bersangkutan. Namun, jaminan tersebut tidak memadai, sehingga tidak cukup untuk menutupi nilai pinjaman. Rohan mencontohkan, salah satu debitur yaitu PT Catur Karya Manunggal (CKM), menjaminkan pabriknya saat meneken perjanjian kredit dengan Bank Mutiara. Tapi ternyata, lokasi pabrik yang dimiliki oleh PT CKM tersebut, berada dalam pabrik PT Polytama Propindo, dimana Honggo Wendratno pernah menjabat sebagai Presiden Direktur perusahaan tersebut.
Bank Indonesia sebagai otoritas perbankan mengaku, tengah melakukan pengawasan terhadap upaya restrukturisasi utang yang dilakukan oleh Bank Mutiara tersebut. "Upaya yang dilakukan Bank Mutiara dalam hal restrukturisasi kredit, sudah ada dalam pengawasan BI," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Difi A. Johansyah. Catatan saja, Bank Mutiara memiliki lima debitur kelas kakap yang tiba-tiba dengan serentak menghentikan cicilan pembayarannya. Debitur nakal itu adalah PT Selalang Prima International, PT Polymer Spectrum Sentosa, PT Trio Irama serta PT Catur Karya Manunggal (CKM). Keempat perusahaan tersebut tergabung dalam grup PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) dengan nilai total pinjaman ke Bank Mutiara Rp 411,5 miliar. Belakangan, PT TPPI menolak bahwa pihaknya merupakan grup usaha dari empat perusahaan tersebut yang merupakan debitur nakal Bank Mutiara. Debitur lainnya adalah perusahaan milik Robert Tantular yakni PT Enerindo dengan nilai kredit sebesar Rp 174,6 miliar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Asnil Amri