Ini Tantangan Penggunaan PLTS Atap



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya  (PLTS) atap sudah jamak dilakukan di kalangan korporasi. Kapasitas yang dipasang beragam, mulai dari ratusan hingga kilowatt peak (kWp).

PT Impack Pratama Industri Tbk misalnya. Emiten produsen dan distributor bahan bangunan plastik berkode saham IMPC itu telah mengoperasikan solar panel fase pertama pada unit II di Cikarang, dengan kapasitas sebesar 1.231 kWp dari total kapasitas terpasang sebesar 4.473 kWp.

Dengan langkah tersebut, IMPC mengklaim mampu mencatatkan rerata pengurangan emisi sekitar 98 Ton CO2eq per bulan.


“(Pengurangan emisi dari penggunaan solar panel dalam setahun) Per tahun 2023 diperkirakan dapat mencapai 1.176 Ton CO2eq,” kata Corporate Secretary IMPC, Lenggana Linggawati kepada Kontan.co.id, Minggu (18/6).

Baca Juga: Kencana Energi Lestari (KEEN) Targetkan Pengembangan EBT Hingga 500 MW

Pemanfaatan PLTS oleh IMPC tidak berhenti di situ. Menurut rencana, IMPC bakal kembali memasang solar panel tambahan. Hanya saja, manajemen tidak merinci  besaran kapasitas tambahan yang  hendak dipasang maupun anggaran yang disiapkan.

“Sesuai kebijakan internal perusahaan, kami akan memasang sola rpanel di setiap unit usaha baru kami, termasuk di Batang, rencananya menunggu pembangunan selesai. Pemasangan ini nantinya juga dengan memperhatikan regulasi yang berlaku terkait PLTS,” terang Lenggana.

Pemanfaatan PLTS juga telah dilakukan oleh Grup Adaro. Sejak tahun 2018, Adaro telah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sistem rooftop atau atap dengan kapasitas 130 kWp di Kelanis, Kalimantan Tengah, untuk melayani kebutuhan listrik di area tambang Adaro. 

Setelah berhasil dalam pembangunan dan pengoperasian PLTS atap 130 kWp, Adaro melakukan pengembangan dengan menambahkan kapasitas 468 kWp PLTS dengan sistem terapung (floating). 

“PLTS terapung di Kelanis ini menjadi PLTS terapung terbesar di Indonesia untuk saat ini. Estimasi produksi listrik sekitar 618 ribu kWh per tahun atau setara dengan pengurangan Emisi CO2 515 ton per tahun,” kata Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Tbk (ADRO), Febriati Nadira saat dihubungi Kontan.co.id (18/6).

Febriati memastikan, Adaro bakal terus jajaki pengembangan proyek EBT di group Adaro sendiri. 

“Selain itu kami juga mendukung tender EBT PLN, selain tentunya menjalankan green initiative jangka panjang melalui pembangunan smelter aluminium di kawasan industri hijau di Kaltara,” imbuhnya.

Sementara itu, menurut catatan Kontan.co.id, PT Blue Bird Tbk (BIRD) baru saja meresmikan  pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap di Kantor Pusat Blue Bird, Jakarta Selatan. Sistem panel surya pintar berdaya sebesar 215,5 kWp ini diproyeksikan dapat mereduksi lebih dari 2.000 ton emisi karbon per tahun.

Baca Juga: Revisi Permen PLTS Atap Segera Diharmonisasi Dalam Waktu Dekat, Berikut Isinya

Emiten transportasi tersebut tengah mengejar target pengurangan emisi hingga 50% pada tahun 2030. Menurut rencana, ambisi tersebut bakal dikejar lewat berbagai cara, termasuk salah satunya pemanfaatan energi terbarukan.

Kalau tidak ada aral melintang, implementasi penggunaan energi ramah lingkungan ini bakal dilanjutkan Blue Bird ke area pool maupun kantor cabang Blue Bird di kota-kota lainnya yang ada di Indonesia. 

“Iya, tentunya tergantung pada PLN dan kontraktor yang membangun. Tapi sudah pasti ketok palu akan bangun sebanyak mungkin,” ujar Wakil Direktur Utama PT Blue Bird Tbk (BIRD) Adrianto (Andre) Djokosoetono.

Tantangan perizinan

Meski penggunaanya kian diminati,  pemasangan PLTS atap bukannya tanpa hambatan. Masalah perizinan masih ditemui di kalangan pengguna, termasuk IMPC.

“Saat ini, di Unit 2 Trembesi, Cikarang, telah terpasang kapasitas 4.473 Kwp, namun kami baru diizinkan beroperasi 1.231 Kwp dari offtaker PLN.Selain itu, investasi Solar panel yang masih mahal (juga menjadi tantangan),” kata Lenggana.

Untuk itu, IMPC berharap ada dukungan dan kejelasan regulasi. “Sejalan dengan kesadaran dan kebutuhan untuk penerapan low carbon  energy di Indonesia, maka Perusahaan mengharapkan ada support dan kejelasan regulasi dari regulator agar target pengurangan emisi Perusahaan dalam rangka mendukung program Pemerintah tersebut dapat tercapai,” kata Lenggana.

Baca Juga: Deretan Proyek Strategis 2023 Grup MIND ID guna Dukung Perekonomian Nasional

Berdasarkan catatan Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), Fabby Tumiwa, minat pemanfaatan PLTS atap cukup banyak. Namun, gara-gara proses perizinan yang memakan waktu, antrean penambahan PLTS atap ke sistem jaringan PLN menjadi menumpuk.

“Jadi mereka udah pasang nih, tapi belum connect karena izinnya belum turun. Kalau izinnya belum turun kan belum bisa aktif, belum nyala gitu loh,” kata Fabby kepada Kontan.co.id (16/6).

“Setelah ini (izin) dikeluarkan, dalam jangka waktu berapa lama, mungkin akhir tahun, akan ada kenaikan yang besar (pengguna PLTS atap yang tercatat dalam sistem),” kata Fabby.

Itulah sebabnya, Fabby  meminta agar pemberian izin pemasangan PLTS atap tidak hanya oleh PLN, namun dilakukan bersama pihak Kementerian ESDM.

“Untuk pemberian izin harusnya nggak cuma (oleh) PLN, jadi itu bersamaan dengan Kementerian ESDM sebagai regulator. Dirjen gatrik, jadi ada semacam tim teknislah, karena tadi untuk menghindari abuse of market power ya,” terangnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .