Ini Tantangan Utama Penerapan Keuangan Hijau dan Berkelanjutan Menurut OJK



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat perkembangan implementasi instrumen keuangan hijau dan berkelanjutan di Indonesia semakin baik. Terdapat tiga instrumen yang sudah dikembangkan yakni green bond, pembiayaan berkelanjutan dan blended finance. 

OJK mencatat penerbitan green bond atau obligasi hingga Desember 2021 telah mencapai US$ 2,26 miliar atau sekitar Rp 32,1 triliun, pembiayaan berkelanjutan sebesar US$ 55,9 miliar atau sekitar Rp 809 triliun, dan blended finance US$ 3,27 miliar untuk 55 proyek. 

Namun, Deputi Komisioner Stabilitas Sistem Keuangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Agus Edi Siregar  mengatakan, data tersebut masih belum disesuaikan dengan Taksonomi Hijau yang telah diluncurkan pemerintah baru-baru. 


Dia melihat masih ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam mengeluarkan instrumen keuangan hijau dan berkelanjutan. 

Baca Juga: BTPN Catat Portofolio Pembiayaan ke Sektor ESG Capai Rp 12,35 Triliun Per Akhir 2021

"Pertama, kurangnya insentif terhadap pembiayaan hijau. Sementara diperlukan tambahn prosedur untuk melakukan verifikasi atau penetapan underlying apakah benar-benar sektor hijau atau tidak," kata Agus Edi dalam Agenda Presidensi G20 Indonesia, Jumat (18/2). 

Meskipun ada tambahan biaya yang harus ditanggung namun harga green bond di pasar sama sama dengan instrumen keuangan non green. Menurutnya, ini merupakan tantangan terbesar. 

Oleh karena itu, OJK menilai perlu dipikirkan ke depan untuk membuat struktur insentif yang baik supaya minat untuk menerbitkan instrumen keuangan hijau semakin banyak ke depan.

"Di masa lalu, kita belum punya standar sektor mana yang bisa disebut hijau dan non hijau. Standar ini penting agar semua pihak memiliki bahasa yang sama untuk mendesain pembiayanan. Di masa lalu sustainable finance juga masih dalam tahap awal pengembangan. Sekarang sudah ada taksonomi hijau sehingga ke depan diharapkan akan terus berkembang," lanjut Agus Edi.

Untuk menjawab tantangan yang ada, OJK bersama dengan delapan Kementerian terkait sudah menyelesaikan Taksonomi Hijau edisi 1.0. Agus Edi bilang, edisi itu ditetapkan karena masih bisa dilakukan pengembangan ke depan untuk menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi. 

Taksonomi hijau ini disusun dalam lima skala untuk melihat apa sertifikasi yang dibutuhkan agar sektor atau  subsektor bisa dikatakan sebagai sektor green.

Selain itu, kata Agus Edi,  saat ini berkembang diskusi terkait bursa karbon di Indonesia.  Pada prinsip OJK dan pasar modal Indonesia siap membangun bursa karbon.

"Kita masih menunggu keputusan pemerintah apakah nanti pembiayaan karbon itu akan menjadi financial instrumen atau comodity instrumen. Dari sisi likuiditas di pasar, kami berharap keputusan nanti kredit karbon akan menjadi instrumen keuangan. Dengan demikian, likuiditas dan integritas yang ada di pasar saham bisa mendukung ertifikasi karbon ke depan," kata Agus Edi. 

Baca Juga: ADB Suntik Dana US$ 150 Juta Untuk Proyek Infrastruktur Hijau di Indonesia

OJK juga masih akan terus melakukan kerjasama dengan Bank Indonesia (BI) untuk membangun pelaptan keuangan yang lebih hijau. Laporan bulan Lembaga Jasa Keuangan diharapkan sudah memasukkan angka mengenai pembiayaan hijau. 

Menurutnya, hal itu penting karena di tataran global sedang hangat dibicarakan mengenai risk management farmework climate finance. 

"Namun, ini menurut kami baru bisa didesain kalau kita sudah tahu sebesar besar magnitude green fianance dan  non finance. Kalau sudah tahu maka kita bisa merancang kebijakan insentif maupun disinsentif," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi