Ini tantangan yang dihadapi industri tembakau



KONTAN.CO.ID - LOMBOK. Tembakau merupakan salah satu komoditas yang diunggulkan di Indonesia. Bahkan, tembakau dianggap dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.

Berdasarkan data Kementerian Perindustrian sampai saat ini terdapat 2 juta petani tembakau, 600.000 pekerja di industri tembakau serta 2 juta reatiler.

Meski begitu, Yos Adiguna Ginting Anggota Dewan Pembina Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mengatakan, masih terdapat tantangan-tantangan yang dihadapi oleh industri tembakau.


Tantangan pertama, masih belum mampunya produksi tembakau dalam negeri memenuhi permintaan industri. Pada 2017 contohnya, produksi tembakau lokal hanya mampu memenuhi 60% dari total permintaan sebanyak 332.000 ton.

“Sisanya harus diimpor, namun banyak tantangan.Komoditas diposisikan bisa dipenuhi sendiri. Jangan lupa ada keterbatasan lahan,” kata Yos, Selasa (27/3).

Berikutnya, panjangnya rantai pasok tembakau dari petani hingga ke pabrik. Menurut Yos, petani menjadi sulit mendapatkan harga tembakau yang baik lantaran panjangnya rantai pasok ini.

Karena itu, diharapkan ke depannya pabrik rokok yang berlokasi dekat dengan petani, sehingga tidak bergantung pada perantara.

Lalu banyaknya peraturan yang diterbitkan yang semakin menekan tembakau. Misalnya Kementerian Kesehatan yang menargetkan adanya penerapan Kawasan Tanpa Rokok. Dari 515 lokasi, sudah ada 258 wilayah yang mengedepankan.

“Yang dikhawatirkan itu akan berlebihan, tak ada tautan yang jelas apa keuntungan yang didapatkan dari peraturan tersebut,” kata Yos.

Lalu terkait tingginya pajak cukai rokok. Menurut Yos, pajak cukai rokok dimaksudkan untuk mengurangi konsumsi rokok. Namun, saat konsumsi berkurang tidak ada penurunan tarif cukai. Padahal, produksi rokok sudah berkurang 2% pada 2017.

Kenaikan pajak cukai rokok ini picu pertumbuhan rokok ilegal. Berdasarkan data Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2016, rokok ilegal sudah mencapai 12% atau sekitar 39,8 miliar batang (berdasarkan data produksi tahun 2015).

Selanjutnya adalah masifnya kampanye anti tembakau. Kampanye anti tembakau ini memanfaatkan berbagai bidang. Sementara, ada pula dana untuk kampanye ini diambil dari hasil cukai tembakau.

Ada pula propaganda yang dipublikasikan terlalu berlebihan, dimana industri tembakau dianggap mempekerjakan anak-anak. Pdahal, tuduhan ini tidak benar. “Kita adalah salah satu yang menganggap industri ini sangat serius. Kami setuju bahwa anak-anak harusnya belajar sesuai dengan usia mereka,” kata Yos.

Selain itu ada pula Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) di mana dalam aturan ini mengkonversi lahan tembakau menjadi komoditas lain, mendorong kemasan rokok polos, tidak boleh berinteraksi dengan pemerintah, adanya larangan beriklan, dan tidak boleh memajang produk rokok.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto