JAKARTA. Perubahan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) menjadi 10 tahun mengundang kontroversi di masyarakat. Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri membeberkan sejumlah alasan pencairan tabungan tersebut diubah mulai tahun ini. Hanif menjelaskan, aturan sebelumnya soal pencairan JHT ada pada UU nomor 3 tahun 1992 tentang Jamsostek dan lebih lanjut dijabarkan dalam PP nomor 1 tahun 2009. Di dalam aturan itu, JHT dapat dicairkan setelah usia mencapai 55 tahun atau meninggal dunia atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan ketentuan masa kepesertaannya 5 tahun dan waktu tunggu 1 bulan. Sehingga, kalau ada peserta yang sudah membayar selama 5 tahun dan kemudian terkena PHK, maka yang bersangkutan bisa mencairkan dana JHT itu setelah ada masa tunggu satu bulan.
"Pertanyaannya kenapa aturan baru berbeda? Jawaban pertama, tentu karena itu mandat UU SJSN yang menegaskan klaim JHT setelah kepesertaan 10 tahun," ujar Hanif dalam siaran pers yang diterima Jumat (3/7). Kedua, lanjut dia, dalam UU SJSN tidak ada toleransi kalau terjadi PHK, yang berbeda dengan UU Jamsostek. Ketiga, Hanif menuturkan, secara substansi UU SJSN dan PP JHT yang baru sebagai turunannya mengembalikan semangat JHT sebagai skema perlindungan hari tua pada saat pekerja tak lagi produktif. "Kalau peserta di-PHK lalu dana JHT bisa dicairkan semua (sebelum memenuhi syarat pencairan), hal itu selain bertentangan dengan UU SJSN, juga keluar dari spirit perlindungan masa tua. JHT selama ini dikesankan seolah-olah seperti tabungan biasa," ujar Hanif. Saat pemerintah memutuskan mengembalikan semangat pada perlindungan hari tua, Hanif menyadari adanya kerisauan di tengah masyarakat. Namun, dia memastikan bahwa dana JHT tidak akan hilang dan bisa diambil saat memasuki usai 56 tahun. Menurut Hanif, dengan undang-undang yang ada sekarang, ada empat skema jaminan sosial bukan hanya Jaminan Hari Tua. Misalnya, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Pensiun. Seluruh jaminan sosial itu dianggap sudah bisa menutupi risiko para pekerja.