KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta resmi diputus bersalah oleh Mahkamah Agung (MA). Dua perusahaan pengelolaan air tersebut dinyatakan bersalah lantaran telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta. Penyerahan kewenangan ini dalam wujud Pembuatan Perjanjian Kerjasama (PKS) tertanggal 6 Juni 1997. Kemudian diperbaharui dengan Perjanjian Kerjasama (PKS) tanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini. Menanggapi hal tersebut, peneliti Water Institut Firdaus Ali menyatakan ada beberapa opsi yang dapat dilakukan dua perusahaan tersebut. "Kita memang harus hormati putusan MA tapi setelahnya bagaimana?" Kata Firdaus saat dihubungi KONTAN, Rabu (11/10) melalui sambungan ponsel. Pertama, menurutnya dua perusahaan tersebut dapat menerima putusan MA dengan lapang dada. Selanjutnya pengelolaan dapat dikembalikan. "Kedua, mereka bisa melakukan perlawanan hukum," lanjut Firdaus. Menurut Firdaus, dua perusahaan ini punya bekal jika melakukan perlawanan hukum dari kontrak 1998. Ia melanjutkan dalam Kontrak tersebut dinyatakan bahwa Pemda DKI Jakarta, dalam hal ini PAM Jaya punya kewajiban menyediakan air baku. Untuk kemudian diolah dan didistribusikan oleh swasta. "Padahal sejak 1998 kita tak pernah tambah pasokan air baku. Jadi memang ada kendala dapat air baku. Kalau inputnya ga beres, outputnya pasti berantakan," lanjut Firdaus. Soal perlawanan hukum, Firdaus miliki pilihan lain yaitu arbitrase internasional. Menurut Firdaus, posisi mereka akan lebih kuat jika permasalahn ini sampai arbitrase internasional. Selanjutnya, opsi ketiga yang disebut Furdaus adalah dua perusahaan tersebut dapat menempuh Peninjauan Kembali (PK). "Mereka PK, menemukan novum baru, buying time sampai 2022. Semua tak ada masalah," ungkap Firdaus. Tentu Firdaus tak tahu pilihan mana yang akan diambil. Yang ia tahu putusan tersebut pasti menganggu iklim investasi nasional. "Ini sinyal negatif bagi investor. Lantaran pemerintah kini sedang banyak bangun infrastruktur termasuk di air. Dengan ketiadaan kepastian seperti ini, investor tentu ragu berinvestasi," tutup Firdaus. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Ini tiga opsi jalan keluar bagi Palyja dan Aetra
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja) dan PT Aetra Air Jakarta resmi diputus bersalah oleh Mahkamah Agung (MA). Dua perusahaan pengelolaan air tersebut dinyatakan bersalah lantaran telah melakukan perbuatan melawan hukum karena menyerahkan kewenangan pengelolaan air Jakarta kepada pihak swasta. Penyerahan kewenangan ini dalam wujud Pembuatan Perjanjian Kerjasama (PKS) tertanggal 6 Juni 1997. Kemudian diperbaharui dengan Perjanjian Kerjasama (PKS) tanggal 22 Oktober 2001 yang tetap berlaku dan dijalankan hingga saat ini. Menanggapi hal tersebut, peneliti Water Institut Firdaus Ali menyatakan ada beberapa opsi yang dapat dilakukan dua perusahaan tersebut. "Kita memang harus hormati putusan MA tapi setelahnya bagaimana?" Kata Firdaus saat dihubungi KONTAN, Rabu (11/10) melalui sambungan ponsel. Pertama, menurutnya dua perusahaan tersebut dapat menerima putusan MA dengan lapang dada. Selanjutnya pengelolaan dapat dikembalikan. "Kedua, mereka bisa melakukan perlawanan hukum," lanjut Firdaus. Menurut Firdaus, dua perusahaan ini punya bekal jika melakukan perlawanan hukum dari kontrak 1998. Ia melanjutkan dalam Kontrak tersebut dinyatakan bahwa Pemda DKI Jakarta, dalam hal ini PAM Jaya punya kewajiban menyediakan air baku. Untuk kemudian diolah dan didistribusikan oleh swasta. "Padahal sejak 1998 kita tak pernah tambah pasokan air baku. Jadi memang ada kendala dapat air baku. Kalau inputnya ga beres, outputnya pasti berantakan," lanjut Firdaus. Soal perlawanan hukum, Firdaus miliki pilihan lain yaitu arbitrase internasional. Menurut Firdaus, posisi mereka akan lebih kuat jika permasalahn ini sampai arbitrase internasional. Selanjutnya, opsi ketiga yang disebut Furdaus adalah dua perusahaan tersebut dapat menempuh Peninjauan Kembali (PK). "Mereka PK, menemukan novum baru, buying time sampai 2022. Semua tak ada masalah," ungkap Firdaus. Tentu Firdaus tak tahu pilihan mana yang akan diambil. Yang ia tahu putusan tersebut pasti menganggu iklim investasi nasional. "Ini sinyal negatif bagi investor. Lantaran pemerintah kini sedang banyak bangun infrastruktur termasuk di air. Dengan ketiadaan kepastian seperti ini, investor tentu ragu berinvestasi," tutup Firdaus. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News