Andi Arief menulis dinasti Golkar dan Demokrat



JAKARTA. Staf Khusus Presiden bidang Bencana, Andi Arief, menulis di laman Facebook miliknya, Rabu (16/10/2013) untuk menyikapi soal dinasti politik Golkar di Banten dan Partai Demokrat yang disorot banyak kalangan akhir-akhir ini. Andi Arief menulisnya dengan judul "Dinasti Politik Ada dan Tiada". Andi Arief memulai tulisannya dengan menyebut ada kesalahan berpikir yang mengarah sesat dan genit membandingkan dua dinasti politik itu. Berikut tulisan lengkap Andi Arief, yang juga dikenal aktivis mahasiswa era reformasi itu : "Ada kesalahan berpikir yang mengarah sesat dan fatal serta genit soal dinasti politik. Berupaya memaksakan dua hal yang berbeda menjadi satu hal yang sama. Golkar Banten yang sudah dilanda abuse of power dan Demokat yang menghentikan pemanfaatan kekuasaan untuk korupsi. Sebetulnya Demokrasi tidak mengenal kata dinasti politik. Dengan asumsi semua berjalan dengan hukum demokrasi yang benar dari mulai rekrutmen sampai proses pemilihannya sampai tahap akhir. Jadi siapa pun boleh saja ikut kompetisi politik, meskipun dalam satu darah keturunan jika politik berjalan dengan jujur dan tidak bermotif membangun pundi-pundi bisnis keluarga dan kroni serta berniat langgengkan kekuasaan.

Otonomi dan demokrasi ciptakan Raja-Raja kecil yang kini tumbuh di beberapa daerah membangkitkan memori Dinasti politik. Sementara dengan "motif" yang sama dalam tubuh partai partai yang ikut dalam kekuasaan memilih membangun blok politik berbasis suku, agama, kelompok politik di partai untuk kendalikan partai mencapai motif, sering disebut oligarki. Dinasti politik dan membangun blok politik ciri khas bagian upaya "bisnis" dengan power politik" disebutnya "bisnis dan politik". Karena itu, kekuasaan yang didapat dibeli dengan "politik uang", sehingga demokasi menjadi mundur ke ruang dan sistem kerajaan .

Di zaman orde baru Golkar melakukan kedua-duanya. Di zaman reformasi, Golkar Banten terbukti tertangkap tangan politik dinasti mampu terobos suap ketua MK. Sementara Partai Demokrat alami kemerosotan akibat blok politik eksklusif tersandera di kasus Hambalang dan lain-lain.


Jika Golkar sibuk dengan mencari kambing hitam, partai Demokrat justru mengevaluasi cepat kesalahan dengan lakukan langkah-langkah penyelamatan. Kalaupun ada satu atau dua posisi di partai berhubungan keluarga dengan SBY, bukanlah "dinasti atau oligarki", justru menjadi bagian menyelamatkan partainya dari kerusakan berat dan mengamputasi korupsi berjemaah dalam tubuh partai.

Tak ada partai secepat demokrat yang mampu menutup perluasan korupsi yang bisa menghancurkan partai. Demokrat di bawah ketua umum SBY tidak ada tendensi memperkaya pundi keluarga ataupun kelompok, serta akan turun-temurun menjadi partai keluarga seperti yang dituduhkan.

Menyelamatkan Partai demokrat adalah bentuk pertanggung jawaban SBY pada rakyat dan konstituen Demokrat yang telah memberi mandat buat Demokrat dan terutama SBY untuk memberantas korupsi.

SBY menjadi Ketua Umum Partai Demokrat untuk memastikan komitmen tetap memimpin pemberantasan korupsi. Tuduhan membangun dinasti karena adanya beberapa caleg demokrat di 2014 yang dianggap dekat dan lingkungan keluarga meski keluarga jauh tentu sangat prematur, spekulatif dan hanya upaya alihkan sasaran yang sedang mendera Golkar di Banten. Karena tidak ada jaminan menang dan terpilih di nomor urut berapa pun. Kecuali murni sebagai suara terbanyak. Ibas Yudhoyono misalnya, seperti juga Puan maharani termasuk yang mendapatkan suara terbesar dalam pemilu 2009.

Jika, faktanya semua yang dianggap ada pertalian dengan SBY nantinya terpilih, apa itu pertanda negara ini dikuasai dinasti SBY? Membandingkan sebuah praktik politik itu harus berdasarkan proses dan hasilnya, berdasarkan fakta yang sudah ada, sudah terjadi dan bukan asumsi.

Dalam teori politik, istilah dinasti, kroni dan blok politik menjadi negatif, karena dilandasi penempatan keluarga pada posisi-posisi penting di berbagai level eksekutif. Legislatif, yudikatif, dan lembaga/institusi lain untuk motif korupsi sistematis karena kekuasaannya serta melanggengkan kekuasaannya secara turun-temurun.

Sangat sederhana dan tidak rumit untuk merumuskannya. Jika cermat, 9 tahun lebih memimpin negeri ini, sejumlah hak prerogatif sebagai Presiden maupun Dewan Pembina partai tak sedikit pun dimanfaatkan SBY untuk kroni apalagi membangun dinasti. Keluarga atau kelompok.

Ratusan Pilkada SBY tak manfaatkan untuk memasang keluarga untuk Calon bupati maupun Calon Gubernur. Penunjukan menteri dan pejabat eselon 1 juga demikian. Bahkan untuk demokrat sendiri, belum ada kadernya menjadi menteri koordinator (Menko).

Di TNI, Polri dan Kejaksaan juga jabaan dipilih bukan pertimbangan keluarga. Semua kalangan juga mengakui bahwa saat Jenderal Pramono Edhie menjadi Kasad bukan karena ia ipar Presiden, melainkan memang dirinya pantas pada jabatan itu.

Logika enteng-entengan: "Di saat menjabat saja tak membangun dinasti, mana mungkin bangun dinasti di saat jabatannya akan berakhir". Kalau mau jujur dan objekif : salah satu legacy terbesar SBY adalah terciptanya sistem di mana, siapa pun dan dari partai apa pun berpeluang yang sama memimpin Indonesia ke depan.

Pilpres 2014, akan berbeda situasinya dengan 2004 dan 2009, lahir tokoh-tokoh baru yang siap bersaing dengan tokoh lama Megawati, Pabowo, Wiranto dan JK. Terbukti toh, tak ada dinasti". (Tribunnews.com)

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan