KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pekerjaan rumah pemerintah Indonesia masih belum selesai melawan Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd dalam perkara ijin pertambangan di arbitrase
International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID), Amerika Serikat. Pasalnya, pemerintah harus mengejar aset-aset kedua perusahaan tersebut jika tidak ada itikad baik untuk mengganti rugi atas putusan ICSID. Sekadar tahu saja, setelah gugatan ditolak oleh ICSID, Churchill dan Planet Mining harus membayar ganti rugi kepada Indonesia sebesar US$ 9,4 juta atau setara Rp 140 miliar. Dirjen Administrasi Hukum Umum Cahyo Rahadian Muzhar mengatakan, sampai kapanpun Indonesia akan terus mengejar Churcill dan Planet Mining untuk patuh dalam putusan ICSID. "Mengejar aset mereka ini akan menjadi isu lain lagi bagi kami, jadi kita harus sekarang caranya men-
enforce kita proaktif," jelas dia kepada wartawan, Senin (25/3).
Pasalnya, kedua pihak sudah mendapatkan putusan dari ICSID. Maka itu, pihaknya akan memulai menginventarisir aset keduanya. "Tapi kan sekarang aset mereka dari Inggris, bisa di Australia, bisa dimana. Jadi kita harus bawa putusan ini ke Inggris dan di-
enforce di sana melalui pengadilan sana," lanjut Cahyo. Sehingga, nanti putusan ini akan di-
enforce ke aset Churchill mining yang ada. Pun ia mengatakan, tidak ada tenggat waktu tertentu untuk mengejar ganti rugi tersebut. Sebagai langkah awal, lanjut dia, pemerintah akan berbicara lebih dulu pengacara kedua perusahaan guna memenuhi kewajibannya tersebut. Sebelumnya, memang kedua perusahaan besar itu mengatakan tidak mampu untuk membayar ganti rugi tersebut. Alasannya, laporan keuangan terakhir, neraca keuangan mereka tidak memungkinkan untuk hal tersebut. Tapi, Cahyo tidak mau percaya begitu saja karena, untuk mengajukan pembatalan putusan
(annulment of the award) di ICSID saja masih mampu membayar. "Perlu diingat mereka ada
third party funding (pendanaan pihak ketiga, jadi saya akan terbang ke Washington tanggal 5 untuk berbicara soal amandemen dari hukum acara ICSID," katanya "Karena ngga punya uang aja mengajukan
annulment. Tidak punya uang aja kok masih bisa, ternyata mereka pakai
third party funding. Jadi orang
invest di litigasi. Ini yang akan kami bicarakan," lanjut Cahyo. Sehingga, kalau ada
third party funding ini harus dibuka siapa pihak ketiga tersebut. Kalau sudah ketahuan, maka pihak ketiga tersebut bisa ikut mendanai ganti rugi. "Jangan numpang gugat Indonesianya. Ini akan kami bicarakan dengan beberapa negara dan juga ICSID," jelas Cahyo. Yang pasti sikap pemerintah, atas hal ini akan dikejar sampai kapanpun. Bahkan akan bekerja sama dengan negara-negara lain lewat MLA untuk mengetahui aset kedua perusahaan tersebut. Kemenangan pemerintah ini didasari karena dasar izin pertambangan dan beberapa perizinan yang Churchill dan Planet miliki adalah palsu atau dipalsukan dan tidak pernah memperoleh otorisasi dari Kantor Pemerintah Daerah Kutai Timur, Provinsi Kalimantan Timur. Mulanya, Churchill dan Planet mengajukan gugatan arbitrase pada tahun 2012. Putusan Majelis Tribunal ICSID ini muncul setelah tujuh hari proses sidang pemeriksaan keabsahan dokumen yang dilaksanakan di Singapura pada Agustus 2015.
Pada saat itu Pemerintah Indonesia telah menyampaikan bukti dan argumen yang kuat sehingga meyakinkan Majelis Tribunal ICSID bahwa izin pertambangan yang menjadi dasar klaim investasi Churchill dan Planet adalah palsu atau dipalsukan. Hal ini juga memperkuat kebenaran tindakan Pemerintah Kutai Timur pada Tahun 2010 yang telah memutuskan pembatalan atas izin pertambangan kedua perusahaan tersebut sebagaimana dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia. Churchill menganggap ada kejanggalan atas pencabutan izin ini. Dari situ kasus ini lantas bergulir. Terakhir, pada 18 Maret 2019 ICSID kembali menolak pemantapan putusan yang diajukan keduanya. Artinya, Indonesia menang dan lolos dari nilai ganti rugi sebesar US$ 1,3 miliar atau sekitar Rp 18 triliun. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .