Ini yang Dibutuhkan Agar Transisi Energi di Indonesia Melaju Lebih Cepat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indonesia menargetkan untuk mencapai puncak emisi gas rumah kaca (GRK) pada 2035 untuk selanjutnya melandai hingga tercapai net zero emission (NZE) pada 2060 atau lebih awal. Dalam mencapai target ini masih dibutuhkan dukungan regulasi dan investasi yang lebih masif. 

Institute for Essential Services Reform (IESR), mengamati tren pembangunan energi terbarukan cenderung melambat yakni hanya mencapai 0,97 GW dari target 3,4 GW pada kuartal keempat 2023. 

Artinya, jika tren ini berlanjut, Indonesia justru tidak akan mencapai puncak emisi karena stagnasi dekarbonisasi sektor daya (power) sedangkan emisi sektor permintaan (demand) terus naik. 


Baca Juga: Target Bauran EBT di 2025 Terancam Tidak Tercapai

Hal ini membuat, langkah Indonesia untuk menurunkan emisi akan  semakin sulit jika tidak disertai ambisi penurunan emisi yang tinggi dan komitmen politik yang kuat. 

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa menyampaikan tahun ini, laporan  Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2024 hadir dengan lebih komprehensif dalam  memantau perkembangan dan proyeksi transisi energi di Indonesia. 

Menurutnya, Indonesia telah mengeluarkan rencana dan komitmen transisi energi dengan terbitnya beberapa kebijakan pemerintah seperti Perpres 112/2022 tentang percepatan pembangunan energi terbarukan, dan pemutakhiran Kebijakan Energi Nasional (KEN) oleh Dewan Energi Nasional. 

Namun implementasi untuk mempercepat transisi energi masih membutuhkan dukungan dari segi regulasi dan investasi.

“IESR melalui IETO 2024 mencoba mengukur proses transisi energi dalam berbagai sektor, seperti ketenagalistrikan, industri, transportasi dan bangunan,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (12/12). 

Pihaknya juga konsisten menilai kondisi pendukung (enabling condition), khususnya di sektor ketenagalistrikan, yang menentukan kesuksesan atau kegagalan transisi energi di Indonesia. 

Terdapat empat enabling condition yakni kerangka kebijakan dan regulasi, dukungan pendanaan dan investasi, aplikasi dari teknologi serta dampak sosial dan dukungan masyarakat. 

IETO 2024 juga menyoroti agar dapat mencapai target emisi kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) 250 MtCO2e/y pada tahun 2030. 

Hasil simulasi IESR menunjukkan Indonesia perlu mengurangi 4,29 GW PLTU batubara dan diesel hingga 2030. Selain itu, Indonesia harus menggenjot pembangunan energi terbarukan setidaknya 30,5 GW tambahan hingga 2030.

Pintoko Aji, Analis Energi Terbarukan IESR menyebutkan penetrasi energi terbarukan variabel (PLTS dan PLTB) yang tinggi akan membuat konsep pembangkit baseload atau pembangkit yang beroperasi secara berkesinambungan dengan kapasitas yang tinggi, menjadi tidak relevan.

“Dengan adanya kebutuhan untuk meningkatkan penetrasi variable renewable energy (VRE), sistem ketenagalistrikan Indonesia membutuhkan sistem yang lebih fleksibel dan responsif,” jelasnya. 

Baca Juga: Investasi EBTKE Indonesia di Tahun Ini Diproyeksi Capai Titik Terendah Sejak 2017

Makna fleksibel berarti tingkat sistem ketenagalistrikan dapat menyesuaikan dengan beban dan sebagai reaksi variabilitas produksi listrik dari VRE. 

Untuk melakukannya, diperlukan pendalaman materi untuk pembatasan kontraktual, misal perubahan kontrak (legal) dari menerima atau membayar (take-or-pay) ke menerima dan membayar (take-and-pay) dan insentif fleksibilitas. 

IESR mendorong agar pemerintah menunjukkan komitmen politik (political will) yang lebih kuat dan langkah-langkah yang konkret untuk mempercepat penetrasi energi terbarukan.

Selain itu strategi dekarbonisasi perlu diterapkan di seluruh sektor agar saling mendukung. IESR memandang presiden baru yang akan terpilih pada Pemilu 2024 harus menciptakan momentum transisi energi sedari awal kepemimpinan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .