Ini yang dikhawatirkan Sri Mulyani terkait taper tantrum



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pemerintah mengaku waswas akan adanya potensi risiko dampak pemulihan Amerika Serikat (AS) yang lebih cepat dari ekspektasi. 

Sebelumnya, ekspektasi pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat ini sempat memicu keluarnya modal asing dari emerging markets (EM) termasuk Indonesia, sehingga menekan nilai tukar rupiah dan pasar Surat Berharga Negara (SBN). 

Hal ini disebabkan oleh adanya perkiraan bahwa bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan mulai mengurangi stimulus (tapering off). 


Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kemudian menjabarkan efeknya terhadap kondisi perekonomian di Indonesia kalau ini benar terjadi dalam waktu dekat. 

Baca Juga: Jelang FOMC dan RDG BI, IHSG diprediksi bergerak menguat

“Ini akan berpotensi menurunkan daya dukung investor global terhadap pembiayaan fiskal melalui pasar Surat Berharga Negara (SBN),” ujar Sri Mulyani kepada Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Senin (14/6). 

Bendahara negara juga mengatakan, risiko ini akan menimbulkan komplikasi dalam kebijakan makroekonomi, seperti penyesuaian yield SBN untuk menjaga daya tarik SBN dan upaya stabilitas nilai tukar rupiah. 

Stabilisasi nilai tukar ini nantinya bisa berdampak pada berkurangnya minat bank untuk menyalurkan kredit yang diperlukan bagi pemulihan ekonomi. 

Nah, menurunnya minat bank untuk menyalurkan kredit ini menjadi kondisi yang kontraproduktif dengan kebutuhan untuk mendorong intermediasi dalam rangka percepatan pemulihan. 

Akan tetapi, hingga saat ini pemerintah masih yakin bahwa The Fed masih belum terlihat untuk melakukan pengetatan moneter, termasuk mengurangi quantitative easing (QE). 

“Ini statement pada April 2021 lalu dan ini akan memberikan ketenangan dan mengurangi volatilitas. Namun, kita tetap perlu waspada, karena dengan melihat apa yang terjadi di AS dan sekali The Fed mengeluarkan keputusan, ini akan berpengaruh ke seluruh dunia,” tandasnya. 

Selanjutnya: Ini sederet penopang penguatan rupiah sepekan terakhir

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli