KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah pelaku usaha dan ahli khawatir Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) akan berdampak pada pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Sebagai informasi, energi terbarukan ialah sumber energi yang tersedia di alam dan bisa dimanfaatkan secara terus menerus. Contoh energi terbarukan ialah pembangkit listrik tenaga surya, angin, panas bumi, air, dan lainnya. Board of Director International Geothermal Association (IGA) Surya Darma mengkaji substansi yang sekarang muncul dalam RUU EBET, tampaknya masih banyak yang menjadi kekhawatiran para pelaku industri energi terbarukan dan juga panas bumi.
“Bahkan RUU ini sudah tampak seperti Omnibus Law yang memasukkan berbagai hal dari energi dalam RUU EBET ini. Padahal yang dibutuhkan adalah sebuah payung hukum yang dapat memberikan kepastian hukum bagi pengusahaan energi terbarukan,” ujarnya kepada Kontan.co.id, Senin (20/2).
Baca Juga: RUU EBET Ditargetkan Rampung September 2023 Sebut saja kebijakan yang diperlukan ialah kepastian pengadaan energi terbarukan, harga jual listrik yang dapat memberikan kepastian usaha dan keekonomian. Kemudian dapat menggalang dana energi terbarukan, dapat menghasilkan mekanisme transaksi nilai karbon dan sertifikat energi terbarukan. Ketua Umum Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) Fabby Tumiwa menilai, format RUU EBET saat ini belum bisa mendorong pengembangan energi terbarukan di Indonesia. “Karena kalau saya lihat mendalam RUU ini tidak secara lengkap membangun ekosistem energi terbarukan mulai dari pendanaan, insentif, dan penciptaan industrinya. Padahal energi terbarukan ekosistemnya harus terbentuk,” jelasnya. Fabby menilai, kebijakan ini tidak bisa memicu pengembangan energi terbarukan di Indonesia karena mencampuradukkan antara energi baru dan energi terbarukan. Dia mengusulkan agar RUU EBET dirombak total, paling tidak mengeluarkan poin energi baru dan fokus membahas pada energi terbarukan saja. Dengan begini, kebijakan khusus energi terbarukan bisa fokus membahas insentif, pembiayaan, pengembangan industri dan pasar. “Kalau itu dilakukan, baru ada harapan,” ujar Fabby. Ia mencontohkan kebijakan energi yang diambil India yang dengan jelas memerinci target jangka panjang, diturunkan menjadi program nasional hingga ke unit terkecil di negaranya. Lewat cara ini, India bisa mendatangkan banyak investor energi terbarukan di sana. Sedangkan, Indonesia dinilai masih jauh dari pelaksanaan itu. Fabby menyebut, belum dimasukkan dalam DIM RUU EBET saja power wheeling yang bisa meningkatkan supply demand listrik sudah menjadi polemik. AESI menilai, pemerintah terlalu fokus pada permasalahan kelebihan listrik PLN yang berdampak 3-4 tahun mendatang. Sedangkan Undang-Undang yang berdampak hingga 10 tahun hingga 20 tahun ke depan perlu lebih diperhatikan. Achmed Shahram Edianto, Analis Kebijakan Ketenagalistrikan untuk Asia Tenggara di EMBER berharap RUU EBT dapat menjadi salah satu langkah yang penting bagi Indonesia untuk mengakselerasi parkembangan energi terbarukan di Indonesia. “Namun demikian, masih terdapat beberapa kekhawatiran dalam RUU EBET ini, seperti masuknya definisi energi baru yang meliputi beberapa bentuk energi baru dari batubara misalnya batubara tercairkan, gasifikasi dan lainnya,” jelasnya.
Achmed menilai, potensi UU ini untuk dapat fokus menjawab beberapa tantangan pada perkembangan energi terbarukan menjadi berkurang dengan terbukanya beberapa opsi “alternatif” energi baru yang ada dalam UU tersebut. Padahal saat ini, energi terbarukan membutuhkan kerangkan regulasi dan kebijakan yang lebih kuat dan komprehensif untuk mengakselerasi pembangunannya. Mengingat perkembangan energi terbarukan seperti surya dan angin masih sangat rendah dibandingkan negara-negara ASEAN yang lain seperti Vietnam, Thailand dan Filipina.
Baca Juga: Pakai Dana JETP, Pemerintah Tawarkan Industri Smelter Beralih ke Pembangkit EBT Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat