Ini yang Membuat Rupiah Melemah Dekati Level Rp 16.000 Per Dolar AS



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Rupiah melemah mendekati level Rp 16.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Menguatnya narasi suku bunga tinggi akan bertahan lama kembali menekan pasar mata uang.

Mengutip Bloomberg, Rupiah ditutup Rp 15.825 per dolar AS di perdagangan akhir pekan, Jumat (26/1). Nilai tukar rupiah menguat tipis 0,01% secara harian, namun terpantau melemah sekitar 1,34% dalam sepekan.

Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong mengatakan, pelemahan rupiah akhir-akhir ini dipengaruhi runtuhnya ekspektasi suku bunga bakal dipangkas pada bulan Maret 2024. Ini tercermin dari probabilitas The Fed memotong suku bunga pada bulan Maret telah menurun di bawah 50%.


Kondisi tersebut menciptakan kemungkinan suku bunga tinggi masih akan bertahan lama. Sehingga, tekanan suku bunga menekan semua mata uang, termasuk rupiah.

Ditambah lagi, lanjut Lukman, adanya kekhawatiran investor dalam negeri menjelang pemilihan presiden (pilpres) pada 14 Februari mendatang. Investor saat ini tengah menghadapi ketidakpastian politik menjelang pilpres 2024.  

Sementara itu, stimulus China yang diharapkan berdampak positif untuk pasar Asia, belum mampu untuk menguatkan rupiah. Sentimen dari prospek pertumbuhan ekonomi China dinilai gagal meningkatkan sentimen risk-on di pasar.

“Rupiah sangat mudah menembus level harga Rp 16.000 per dolar AS, apabila Bank Indonesia (BI) tidak rutin intervensi,” ujar Lukman kepada Kontan.co.id, Minggu (28/1).

Baca Juga: Rupiah Berpotensi Melemah di Awal Pekan, Ini Faktornya

Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mencermati, dolar AS menandai awal yang kuat di tahun ini karena data inflasi dan pasar tenaga kerja yang kuat telah membuat pelaku pasar mengurangi ekspektasi penurunan suku bunga lebih awal oleh The Fed. Gagasan ini diperburuk oleh serangkaian komentar hawkish dari pejabat Fed di awal tahun.

Pelaku pasar juga terus menunggu isyarat terbaru terkait kebijakan moneter Amerika Serikat dalam seminggu terakhir. Setelah data Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal IV 2023 dirilis Kamis (25/1), investor menanti indeks harga Price Consumption Expenditure (PCE) sebagai alat pengukur inflasi pilihan The Fed  yang dirilis, Jumat (26/1).

Adapun, PDB AS tumbuh sebesar 3,3% YoY pada kuartal IV tahun 2023, jauh lebih baik dari perkiraan pasar sebesar 2%. Hasil ini mengikuti tingkat pertumbuhan sebesar 4,9% pada kuartal ketiga.

Sementara indeks PCE inti di AS, tidak termasuk makanan dan energi, naik sebesar 0,2% dari bulan sebelumnya pada bulan Desember 2023. Hasil ini selaras dengan perkiraan pasar, dan sedikit meningkat dari kenaikan sebesar 0,1% pada bulan November 2023.

“Inflasi yang stagnan, ditambah dengan meningkatnya tanda-tanda ketahanan perekonomian AS akan memberikan ruang bagi The Fed untuk mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam jangka waktu yang lebih lama,” ungkap Ibrahim dalam risetnya Jumat (26/1).

Ibrahim turut melihat bahwa stimulus moneter China baru-baru ini belum mampu menjadi katalis positif bagi pasar Asia, terutama mata uang yang memiliki eksposur perdagangan terhadap negara tersebut seperti Rupiah. Hal itu mengingat China sedang bergulat dengan perlambatan parah dalam belanja konsumen dan bisnis.

Seperti diketahui, People Banks of China (PBoC) secara tak terduga memangkas rasio persyaratan cadangan untuk bank-bank lokal, yang diperkirakan akan mengeluarkan hampir US$140 miliar likuiditas ke dalam perekonomian.

Ibrahim menambahkan, pemulihan ekonomi China pasca-COVID juga gagal terwujud pada tahun 2023, sehingga sentimen negatif terhadap China tetap negatif. Kini, fokus pasar beralih ke data indeks manajer pembelian China yang akan dirilis pekan depan, guna mengetahui lebih banyak isyarat mengenai perekonomian.

Baca Juga: Begini Prospek Rupiah Usai Tembus ke Level Rp 15.800 Per Dolar AS

Investor juga akan memperhatikan pertemuan The Fed di pekan depan yang diperkirakan mempertahankan suku bunganya. Pasar juga memperkirakan bank sentral akan menahan diri pada pertemuan bulan Maret, sehingga membalikkan ekspektasi sebelumnya untuk penurunan suku bunga sebesar 25 basis poin.

Walaupun demikian, Ibrahim menuturkan bahwa rupiah dapat terdorong perekonomian seiring pelaksanaan pemilihan umum (pemilu). Pemilu biasnaya akan berdampak pada peningkatan konsumsi masyarakat, sejalan dengan maraknya uang beredar.

Momen pemilu dalam negeri bisa berdampak positif terhadap perekonomian, khususnya PDB Indonesia. Hal itu ditopang oleh stabilitas politik terjaga dengan baik di tengah ekonomi global terus bergejlak akibat memanasnya tensi politik baik di timur Tengah maupun Eropa.

Secara historis, momen pemilihan presiden (pilres) dan pemilihan legislatif (pileg) berkontribusi pada pertumbuhan PDB riil pada kuartal I hingga kuartal III. Sebelum dan sesudah pesta demokrasi rakyat, biasanya terkonfirmasi beberapa komponen PDB akan naik.

Lukman juga berpendapat bahwa pemilu akan berdampak positif untuk perekonomian dan nilai tukar rupiah. Dengan catatan, apabila pilpres selesai tanpa ada kegaduhan dan tensi politik.

Pertumbuhan ekonomi China ke depannya juga diharapkan mendukung rupiah. Namun kemungkinan besar perekonomian China ataupun perekonomian global diprediksi akan tumbuh lebih rendah daripada tahun lalu.

“Prospek rupiah ke depannya akan tergantung situasi pasca-pilpres, namun Saya melihat BI akan terus mengintervensi untuk menjaga rupiah di bawah atau kisaran Rp 16.000 per dolar AS,” imbuh Lukman.

Menurut Lukman, jika pemilihan presiden dapat berjalan lancar, maka rupiah kemungkinan akan berkisar Rp 15.500 per dolar AS – Rp 16.100 per dolar AS di akhir kuartal I-2024 ini. Selanjutnya, rupiah berpotensi bakal berada dalam rentang Rp 15.800 – Rp 16.300 per dolar AS di semester pertama tahun 2024.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Khomarul Hidayat