KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Perihal cadangan migas, Pemerhati ekonomi makro dari Universitas Indonesia, Faisal Basri menyampaikan saat ini cadangan migas Indonesia tinggal tersisa 3,2 miliar barrel, sedangkan di tahun 1980 masih mencapai 11,6 miliar barrel. “Akibat dahaga mengkonsumsi minyak bumi, saat ini status Indonesia sebagai netto eksportir minyak bumi, sudah berbalik menjadi negara netto importir minyak bumi," ungkapnya dalam siaran pers yang diterima Kontan, Jumat (1/3). Karena itu, lanjutnya, minyak yang harganya relatif lebih mahal masih dibeli, sedangkan gas yang relatif harganya murah, sebagian besar juga diekspor. Adapun cadangan gas Indonesia juga tidak tergolong melimpah, hanya 102,9 TCF atau mencapai 1,4% dari cadangan dunia.
Berdasarkan data dari BP Statistical Review of World Energy, Faisal menilai yang saat ini menjadi Advisory Board pada Indonesia Research and Strategic Analysis (IRSA), perlu mengubah paradigma dari energi sebagai komoditi, menjadi energi sebagai tulang punggung perekonomian, pembangunan nasional dan daerah. Sementara itu, Pakar ketenagalistrikan dan Guru Besar FT-UI Professor Iwa Garniwa menegaskan perhatian jangan terkonsentrasi pada peralatan listrik yakni harga terjangkau, melainkan sebaiknya mempertimbangkan juga pada aspek lain, seperti pada kapasitas produksi kompor listrik. “Teknologi harus diikuti kebijakan yang mendukung teknologi tersebut. Misalnya penggunaan kompor listrik yang mau ditingkatkan dengan pertimbangan tadi, maka pemerintah harus membuat kebijakan, harga kompor listrik murah, dan tersedia di mana-mana,” jelasnya. Iwa mengakui, dengan menggunakan listrik maka memasak akan lebih praktis. Sementara kalau dari sisi keamanan, relatif sama karena memasak, baik menggunakan gas maupun listrik, keduanya ada pengamannya masing-masing. Sementara itu bicara tentang langkah apa yang harus ditempuh PLN dan pemerintah untuk mengkonversi pola konsumsi energi konsumen atau masyarakat dari bahan migas ke energi listrik, maka terlebih dahulu, sistem PLN harus disiapkan untuk mendukung peralihan tersebut. “Seandainya kondisi existing rumah di satu komplek rata-rata 1.300 watt. Maka kalau beralih ke kompor listrik yang 1000 watt, bisa jadi ketersediaan listrik di rumahnya berkurang, apalagi saat terjadi beban puncak," sebutnya. Sehingga, sambungnya, sistem PLN harus dibangun, untuk mempersiapkan konversi pola konsumsi energi masyarakat dari migas ke listrik. Terutama PLN harus mengevaluasi struktur jaringannya kalau terjadi peningkatan beban puncak, sehingga harus jauh-jauh hari dipersiapkan. Selanjutnya jika hal tersebut sudah dilakukan, maka PLN dan pemerintah tinggal mensosialisasikan ke masyarakat, misalnya penggunaan listrik itu aman dan harganya terjangkau. Dengan demikian aspek sosialisasi menjadi lebih mudah,” tutur Iwa. Secara terpisah, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi, mengemukakan, penggunaan sejumlah perlengkapan berbasis listrik mulai dari kompor listrik, mobil dan motor listrik akan menjadikan konsumen memiliki pilihan dalam komoditas energi.
“Artinya apabila tersedia semakin banyak pilihan energi yang disediakan oleh negara, maka akan semakin efisien. Selain itu, dengan dengan adanya mobil listrik atau motor listrik, dari segi polusi, bisa menekan pengeluaran dari sisi bahan bakar,” tuturnya. Karena itu, pihaknya kembali menekankan, bagi masyarakat konsumen, mengubah pola hidup menjadi lebih banyak menggunakan listrik dibanding energi lainnya seperti minyak dan gas (migas yang berasal dari fosil), akan tergantung pada harga yang ditawarkan. Menurut Tulus, apabila harga jual tenaga listrik yang ditawarkan lebih murah, bagi masyarakat bisa saja menjadi alternatif pilihan. Tetapi sebaliknya kalau penawaran harganya mahal, akan sulit bagi masyarakat beralih pada listrik. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Azis Husaini