JAKARTA. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menengarai bahwa berubahnya pilihan kebijakan dari pengaturan menjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, bukan semata-mata karena naiknya harga minyak dunia di atas US$ 120. Namun juga disebabkan karena selama dua tahun ini kementerian-kementerian terkait belum berhasil menyelesaikan instrumen-instrumen pengaturan dan berbagai kebijakan terkait tata kelola energi nasional. Hal ini diungkapkan oleh Sekretaris Fraksi PKS Abdul Hakim, melalui rilis yang diterima KONTAN, pada Kamis (22/3). Instrumen tersebut di antaranya adalah ketidaksungguhan kementerian terkait dalam menyiapkan sistem dan infrastruktur pengaturan BBM bersubsidi berdasarkan roadmap yang telah disepakati. Abdul Hakim juga menyatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya inefisiensi di tubuh PLN sebesar Rp 19,7 triliun di tahun 2011. Hal ini terjadi akibat tidak adanya pasokan gas untuk pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) untuk PLN, sehingga PLN harus menggunakan BBM. Fakta lain, menurut PKS adalah mundurnya commercial operation date (COD) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebanyak 10.000 megawatt (MW) tahap I yang mengakibatkan meningkatnya penggunaan BBM. "Sehingga Kementerian ESDM mengajukan tambahan biaya pembangkitan sebesar Rp 26 triliun," tutur Abdul Hakim. Abdul juga menuturkan, bahwa berdasarkan laporan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas tahun 2011, terjadi penyimpangan penyaluran BBM bersubsidi sebesar Rp 7,01 triliun per tahun. Karena itu, PKS menganggap bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi belum tentu solusi terbaik bagi persoalan APBN, ekonomi dan sektor energi di Indonesia. "Kami yakin masih banyak opsi lain yang bisa dieksplorasi untuk menyelesaikan masalah tersebut lebih dalam, sampai ke akar masalahnya. Oleh sebab itu sikap PKS yang sampai saat ini belum menerima dan atau belum menolak usulan kenaikan BBM perlu dipahami dalam konteks latar belakang seperti tersebut di atas," ungkap Abdul.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Inilah alasan PKS tak setuju kenaikan BBM
JAKARTA. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menengarai bahwa berubahnya pilihan kebijakan dari pengaturan menjadi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, bukan semata-mata karena naiknya harga minyak dunia di atas US$ 120. Namun juga disebabkan karena selama dua tahun ini kementerian-kementerian terkait belum berhasil menyelesaikan instrumen-instrumen pengaturan dan berbagai kebijakan terkait tata kelola energi nasional. Hal ini diungkapkan oleh Sekretaris Fraksi PKS Abdul Hakim, melalui rilis yang diterima KONTAN, pada Kamis (22/3). Instrumen tersebut di antaranya adalah ketidaksungguhan kementerian terkait dalam menyiapkan sistem dan infrastruktur pengaturan BBM bersubsidi berdasarkan roadmap yang telah disepakati. Abdul Hakim juga menyatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya inefisiensi di tubuh PLN sebesar Rp 19,7 triliun di tahun 2011. Hal ini terjadi akibat tidak adanya pasokan gas untuk pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) untuk PLN, sehingga PLN harus menggunakan BBM. Fakta lain, menurut PKS adalah mundurnya commercial operation date (COD) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebanyak 10.000 megawatt (MW) tahap I yang mengakibatkan meningkatnya penggunaan BBM. "Sehingga Kementerian ESDM mengajukan tambahan biaya pembangkitan sebesar Rp 26 triliun," tutur Abdul Hakim. Abdul juga menuturkan, bahwa berdasarkan laporan Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas tahun 2011, terjadi penyimpangan penyaluran BBM bersubsidi sebesar Rp 7,01 triliun per tahun. Karena itu, PKS menganggap bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi belum tentu solusi terbaik bagi persoalan APBN, ekonomi dan sektor energi di Indonesia. "Kami yakin masih banyak opsi lain yang bisa dieksplorasi untuk menyelesaikan masalah tersebut lebih dalam, sampai ke akar masalahnya. Oleh sebab itu sikap PKS yang sampai saat ini belum menerima dan atau belum menolak usulan kenaikan BBM perlu dipahami dalam konteks latar belakang seperti tersebut di atas," ungkap Abdul.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News