Inilah Biang Kerok Kekacauan Ekonomi di 60 Negara



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Belum terlepas sepenuhnya dari cengkraman Covid-19, perekonomian global kembali mengalami tekanan. 

Sejumlah negara berpotensi menghadapi stagflasi, yakni sebuah kondisi di mana laju inflasi melesat dan pada saat bersamaan pertumbuhan ekonominya terkontraksi. Bahkan, perekonomian lebih dari 60 negara diproyeksi ambruk, di mana 40 di antaranya sudah pasti terjadi. 

Sri Lanka menjadi salah satu negara yang perekonomiannya runtuh, sehingga menyebabkan negara tersebut bangkrut. 

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, saat ini risiko stagnansi pertumbuhan ekonomi global dan peningkatan inflasi semakin tinggi. 

"Setidaknya ada 3 faktor yang menyebabkan risiko-risiko stagnasi dan inflasi di global dan terjadi di berbagai negara," ujar Perry, dalam konferensi pers, Kamis (23/6/2022).  Faktor pertama ialah perang antara Rusia dan Ukraina yang tidak berkesudahan serta berbagai sanksi yang dijatuhkan oleh negara atau organisasi internasional. 

Sebagaimana diketahui, hal ini telah menimbulkan disrupsi rantai pasok berbagai komoditas, yang pada akhirnya menimbulkan lonjakan harga. 

"Ini juga yang kemudian menimbulkan dari sisi pasokan menimbulkan risiko perlambatan ekonomi global, dari sisi kenaikan harga menimbulkan risiko dan terjadinya inflasi di berbagai negara," tutur Perry. 

Baca Juga: BI Sebut Penyaluran Kredit Bank Tahun Ini Bisa Tumbuh Lebih dari 8%

Faktor kedua, pengetatan moneter di berbagai negara, khususnya Amerika Serikat. Tercatat berbagai bank sentral negara maju, termasuk The Federal Reserve (The Fed), tengah agresif menormalisasi kebijakan moneternya, dengan menaikan tingkat suku bunga acuan. 

Langkah menaikan suku bunga acuan ditempuh berbagai negara yang tidak memiliki ruang fiskal besar untuk memberikan subsidi kepada masyarakat.  Harapannya, suku bunga acuan yang meningkat dapat menahan laju pertumbuhan konsumsi masyarakat. 

"Kenaikan suku bunga tentu saja menurunkan permintaan dan menurunkan pertumbuhan ekonomi," kata Perry. 

Faktor ketiga, terakhir, ialah kebijakan "Zero Covid" yang dilaksanakan oleh China. Kebijakan yang ditempuh untuk menekan sebaran Covid membuat pertumbuhan ekonomi Negeri Panda mengalami perlambatan. 

Baca Juga: Bank Indonesia (BI) Memperpanjang Tarif Layanan Sistem Kliring Nasional (SKNBI)

Berbagai faktor-faktor tersebut pada akhirnya membuat perekonomian global diprediksi tumbuh lebih rendah dari proyeksi yang telah ditentukan. 

Perry mengungkapkan, pertumbuhan ekonomi global berpotensi hanya mencapai 3 persen, di bawah proyeksi yang telah ditentukan oleh bank sentral yakni 3,4 persen. 

Angka proyeksi 3,4 persen tersebut sebenarnya juga merupakan revisi ke bawah dari proyeksi pertumbuhan ekonomi global sebelumnya yakni 3,5 persen.  "(Berbagai faktor) menimbulkan risiko bahwa pertumbuhan ekonomi global dapat turun menjadi 3 persen pada 2022," ucap Perry.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Bos BI Beberkan Biang Kerok Kacaunya Perekonomian di 60 Negara, Termasuk Sri Lanka" Penulis : Rully R. Ramli Editor : Aprillia Ika

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie