Inilah kebijakan ekonomi Jokowi yang tidak populer pasca Pemilu



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memberikan "kado istimewa" baru-baru ini. Yakni mengeluarkan kebijakan yang bisa jadi mimpi buruk bagi sebagian masyarakat. BPJS Kesehatan yang selama ini diandalkan masyarakat kelas menengah ke bawah untuk menikmati subsidi layanan medis, tarifnya akan naik.

Tak berhenti sampai di situ, tak berapa lama kemudian, pemerintah mengumumkan dicabutnya subsidi listrik untuk pelanggan 900 VA pada 2020. Kebijakan ini diambil di akhir periode pertama Jokowi, pasca penetapan dirinya sebagai presiden terpilih untuk kedua kalinya.

Baca Juga: Tak hanya buruh, pengusaha juga ogah jika iuran BPJS Kesehatan dinaikkan


Padahal, sebelum Pemilu berlangsung, pemerintah terkesan menahan diri untuk mengeluarkan kebijakan tidak populer. Bahkan, Jokowi pernah menganulir pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan pada Oktober 2018 lalu.

Saat itu, Jonan mengumumkan rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Jokowi mengatakan, rencana tersebut memang ada, namun urung dilakukan. Sebab, setelah dihitung-hitung, kenaikan harga BBM ternyata tidak memberikan keuntungan signifikan bagi Pertamina jika harga BBM jenis premium dinaikkan menjadi Rp 6.900- Rp 7.000 per liter.

Kebijakan pemerintah di penghujung periode pertamanya itu pun menuai berbagai kritik. Bahkan, muncul gerakan sarkastik yang nampak di media sosial. Menyusul naiknya iuran BPJS Kesehatan diikuti pencabutan subsidi listrik 900 VA itu, muncul tagar #TdLBpjsNaikWeLoveJokowi yang menjadi tiga teratas trending topic Twitter hari ini.

Iuran BPJS Naik 100% 

Iuran BPJS Kesehatan akan mulai naik 100% per 1 Januari 2020. Hal ini dilakukan untuk menutup defisit JKN. Pemerintah tetap menaikkan iuran program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) meski banyak pihak yang mengkritik.

Saat ini tercatat jumlah peserta BPJS Kesehatan sebanyak 223,3 juta jiwa. Kenaikan ini hanya berlaku untuk peserta kelas I dan II atau peserta non Penerima Bantuan Iuran (PBI) pemerintah pusat dan daerah. Peserta kelas I akan naik menjadi Rp 160.000 dan kelas II naik menjadi Rp 100.000.

Baca Juga: YLKI: 100% masyarakat tolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan

Sementara itu, kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas III masih ditunda setelah Komisi IX dan XI DPR menolak usulan itu. DPR meminta pemerintah melakukan pembersihan data sebab terjadi karut-marut data.

Selain itu, kenaikan iuran BPJS Kesehatan kelas III juga dinilai akan membebani masyarakat bawah. Kebijakan ini dikritik Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, 100% masyarakat menolak kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

"Kami yang mendengarkan aspirasi ya mayoritas atau bahkan 100 persen masyarakat menolak terhadap kenaikan tarif yg akan dilakukan," kata Tulus.

Tulus mengatakan, penolakan tersebut dilandasi oleh beberapa alasan, seperti soal daya beli masyarakat kelas menengah dan klaim layanan kesehatan dari BPJS Kesehatan yang belum optimal.

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie