JAKARTA. Rupiah kehilangan daya di hadapan mata uang dolar Amerika Serikat (USD) belakangan ini. Padahal, rupiah sempat beberapa kali mencatat penguatan. Jika dilihat pergerakannya, mata uang Garuda terbilang volatil di sepanjang semester I. Dalam kurun waktu tersebut, mengutip data Bloomberg, rupiah menorehkan pelemahan sebesar 1,87%. Posisi terlemah rupiah pada enam bulan pertama tahun ini adalah 10.087 yang terjadi pada 10 Juni lalu. Sementara, level paling perkasa untuk rupiah pada semester I adalah 9.618. Sedangkan pergerakan rata-ratanya adalah 9.760. Jika sedikit mengintip data
Bloomberg, pada penutupan Senin (10/6), di pasar spot, transaksi rupiah berakhir di level Rp 10.087 per dollar AS. Pada hari yang sama, pelemahan rupiah sempat mencapai Rp 10.174 per dollar AS.
Pelemahan mata uang Garuda itu merupakan pelemahan terbesar yang terjadi sejak 8 September 2009 lalu. Waktu itu, rupiah ditutup di level Rp 10.000. Beberapa pihak mengira, tekanan terhadap rupiah disebabkan menguatnya dolar AS terhadap semua mata uang dunia. Faktor eksternal lainnya yang membuat rupiah loyo adalah, mengalirnya dana asing (
hot money) dari pasar modal. Selain itu, yang berperan besar adalah faktor internal yang membuat dolar kian perkasa. "Faktor internal justru menjadi pemicu besar terhadap pelemahan rupiah," tukas Lukman Leong, Chief Analyst Platon Niaga Berjangka, Kamis (4/7). Perlu diingat, pelemahan atas suatu komoditas, dalam hal ini rupiah, disebabkan oleh banyaknya jumlah uang beredar (JUB) di masyarakat. Pelemahan rupiah berdampak pada tekanan inflasi meninggi sejak Februari, yang berada di atas level 5%. Dalam teori ekonomi moneter, inflasi dipengaruhi oleh banyaknya jumlah uang beredar di masyarakat. Rilis data inflasi terakhir dari BI untuk Juni adalah 5,9%. Ini merupakan level inflasi tertinggi sejak Mei 2011. Kebetulan, pemerintah baru saja mengetuk palu kenaikan harga BBM yang juga menjadi pemicu inflasi. Potensi kenaikan inflasi kian membesar, mengingat sebentar lagi memasuki bulan Ramadan. Seperti biasa, di bulan itu, selalu terjadi inflasi karena meningkatnya daya beli masyarakat yang membuat JUB meningkat. Nah, jika mengacu dua faktor itu, maka bukan hal yang mustahil jika inflasi bisa mencapai level 6%. Ujung-ujungnya rupiah kian tertekan. Lukman menilai, kebijakan BI menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6% hanya untuk menahan pelemahan rupiah dan inflasi untuk sementara waktu. Kebijakan BI itu bisa menjaga rupiah di level psikologis Rp 10.000 per dolar AS, tetapi tidak untuk jangka panjang. Akan tetapi, BI sulit untuk menaikkan suku bunga acuannya lagi. Sebab, jika kembali dinaikan, maka perekonomian akan menjadi tumbal. Pasalnya, pasar sangat sensitif dengan kenaikan suku bunga acuan. Selain suku bunga, kebijakan laij yang bisa dilakukan BI untuk menahan pelemahan rupiah adalah dengan melakukan intervensi. Tapi, di sisi lain intervensi mempertaruhkan cadangan devisa negara. Sementara cadangan devisa negara sudah turun setelah sempat mencapai level tertinggi September 2011. Hal yang sama juga terjadi pada neraca perdagangan yang justru lebih sering defisit daripada surplus sejak 2012. "Tanpa adanya perubahan fundamental ekonomi, intervensi hanya menggerus cadangan devisa. Tanpa adanya perubahan itu, bahaya, rupiah bisa tembus level Rp 10.000 per dolar AS," jelas Lukman.
Ariston Tjendra, analis Monex Investindo Futures memiliki pandangan serupa. Menurutnya, pelemahan rupiah terjadi lantaran potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diproyeksikan hanya di kisaran 6,1%-6,2%. "Tren sudah terlihat sejak September 2011. Rupiah sempat menguat ke level 8.400, tapi akhirnya kembali melemah sampai sekarang," papar Ariston. Namun, dia menilai, kembali menaikkan suku bunga minimal 25 basis poin adalah cara yang paling logis untuk menekan laju pelemahan rupiah. "Jika tidak ada kebijakan tersebut (menaikkan BI rate), maka posisi rupiah tidak akan berubah, di support 9.780 dan resistance 10.100," pungkas Ariston. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Asnil Amri