KONTAN.CO.ID - JAKARTA, KOMPAS — Penanganan anak dengan HIV di DKI Jakarta belum optimal karena stigma masyarakat terhadap mereka yang berlebihan. Sejumlah kalangan masih beranggapan anak dengan HIV mudah menularkan penyakit sehingga mereka layak dijauhi. Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan DKI Jakarta Dwi Oktavia di Jakarta, Jumat (19/7/2019), mengatakan, stigma yang berlebihan itu berujung pada keengganan masyarakat yang memiliki faktor risiko penularan HIV untuk memeriksakan status HIV mereka. Alhasil, pemerintah semakin sulit membongkar fenomena gunung es pengidap HIV. ”Pengidap yang ditemukan sekarang itu baru 50 persen dari estimasi. Jadi, kalau ada data (pengidap) menurun pun jangan diinterpretasikan keberhasilan, malah bisa saja dibilang program tidur. Itu karena belum semua teridentifikasi. Kami masih dalam tahap membongkar gunung es,” ujar Dwi.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan pada 2015-2018, pergerakan jumlah pengidap HIV dengan usia kurang dari 15 tahun di DKI tergolong tidak stabil. Pada 2015, misalnya, pengidap HIV bisa mencapai 124 orang. Lalu, pada 2016, pengidap HIV menurun menjadi 92 orang. Pada 2017, jumlah pengidap bertambah lagi menjadi 109 orang. Lalu, pada 2018, jumlah pengidap mencapai 157 orang. DKI Jakarta pun menduduki posisi keempat teratas kota yang memiliki pengidap HIV di bawah 15 tahun setelah Jawa Timur (268 orang), Jawa Tengah (194 orang), dan Jawa Barat (168 orang). Populasi kunci Dwi menyampaikan, Dinas Kesehatan DKI terus berupaya aktif turun ke populasi kunci untuk membongkar gunung es pengidap HIV meskipun pada prinsipnya setiap orang tetap harus dites status HIV-nya. Populasi kunci yang dimaksud merupakan daerah-daerah yang dianggap sangat berisiko terhadap penularan penyakit HIV, seperti kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LGBT), pekerja seks komersial, pelanggan pekerja seks, atau bahkan pasangan suami/istri dari pekerja seks tersebut. ”Pemetaan itu biasanya dibantu LSM (lembaga swadaya masyarakat) yang memang fokus pada penanggulangan HIV. Sasaran mana yang perlu didekati agar lebih banyak yang ikut tes (HIV),” ujar Dwi. Dengan mengikuti tes, status HIV dari pengidap akan dapat diketahui lebih awal. Dokter pun dapat segera memberikan terapi obat antiretroviral (ARV) untuk menekan replikasi virus sehingga tidak berkembang menjadi AIDS. ”Pada saat dia minum ARV, masa produktivitas dia, kehidupan dia, relatif akan tetap bagus. Yang kita cegah itu, kan, jangan sampai orang tidak tahu status HIV, ternyata positif, lalu berkembang menjadi AIDS. Di situ masuk penyakit-penyakit lain yang bisa berujung pada kematian,” tutur Dwi. Ibu hamil Selain itu, menurut Dwi, pengecekan status HIV juga penting dilakukan oleh ibu hamil. Ini untuk menghindari penyakit bawaan yang dibawa ibu kepada bayi. Pengecekan pun diharapkan dilakukan pada masa hamil awal. ”Sebaiknya pada hamil awal karena perlu waktu agar obat (ARV) bisa sukses bekerja. Dengan pertolongan lebih awal, bayi bisa terlahir tanpa HIV,” ujarnya. Peringatan ini penting disampaikan karena, berdasarkan catatan Dinas Kesehatan DKI, kasus HIV pada ibu hamil tergolong masih tinggi dan tak berkurang signifikan setiap tahun. Pada tahun 2016, dari total 81.968 ibu hamil yang diperiksa status HIV-nya, ada 473 ibu hamil yang positif mengalami HIV. Pada tahun 2017, dari 103.507 orang, ada 287 ibu hamil yang teridentifikasi HIV. Pada tahun 2018, jumlah ibu hamil yang teridentifikasi HIV meningkat lagi menjadi 338 orang dari 131.892 ibu hamil yang dites HIV. Sementara untuk periode Januari-Maret 2019, dari 33.264 ibu hamil yang dites HIV, setidaknya ada 184 ibu hamil positif HIV. Butuh kolaborasi Secara terpisah, Kepala Dinas Sosial DKI Jakarta Irmansyah mengakui, pemerintah daerah saat ini tak memiliki kuasa penuh dalam menanggulangi masalah HIV/AIDS. Pemda hanya bisa menangani sementara pengidap yang telantar, lalu menyerahkannya kepada pemerintah pusat untuk direhabilitasi. ”Kami tak punya kewenangan, lalu bagaimana kami bisa memberikan pelayanan optimal kepada mereka. Mereka, kan, butuh obat, treatment (pengobatan) yang khusus. Di (dinas) kami enggak bisa,” ujar Irmansyah. Karena itu, menurut Irmansyah, perlu ada kolaborasi dalam penanggulangan HIV/AIDS. Kolaborasi tak hanya antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, tetapi juga lembaga-lembaga atau yayasan-yayasan yang fokus terhadap para pengidap HIV/AIDS. ”Karena kalau pemerintah semua, pemerintah tak mampu. Pemerintah itu, kan, ada keterbatasan. Posisi pemerintah hanya bisa memberi bantuan perlengkapan, mungkin dana hibah. Jadi, harus kolaborasi,” kata Irmansyah. Selain itu, lanjutnya, yang paling utama dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah menghapus stigma terhadap para pengidap HIV/AIDS. Masih banyak kalangan masyarakat beranggapan penyakit itu mudah menular sehingga pengidap dijauhi.
Dampaknya malah makin buruk. Para pengidap enggan memeriksakan dirinya, lalu virus itu terus terbawa. Oleh karena itu, Irmansyah mengatakan bahwa sosialisasi dalam rangka penghapusan stigmatisasi terhadap para pengidap HIV/AIDS perlu terus ditingkatkan. Dengan demikian, anak dengan HIV/AIDS (ADHA) dapat tetap hidup berdampingan dengan masyarakat secara normal. ”Masyarakat tentu saja harus bisa memosisikan mereka sebagai yang harus dihargai karena mereka, kan, punya posisi sebagai ADHA. Jangan malah dikata-katain dan dijauhi, tetapi didekati lalu diajak untuk diperiksakan ke dokter,” katanya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Syamsul Azhar