JAKARTA. Sentimen lokal yang sempat memberatkan langkah rupiah beberapa bulan terakhir telah mereda. Namun, tetap saja rupiah belum menguat dengan sempurna. Tadi pagi saja nilai tukar mata uang rupiah di pasar spot sempat melemah 0,08 menjadi Rp 11.401 per dolar Amerika Serikat (AS). Padahal, kemarin rupiah ditutup di posisi Rp 11.396 per dolar AS, menguat dari posisi sehari sebelumnya di Rp 11.410 per dolar AS. Nugroho Sumarjiyanto, Dosen Ekonomi & Bisnis Universitas Diponegoro menjelaskan, ada dua hal yang menyebabkan terjadinya anomali pergerakan rupiah yang seperti ini, yaitu faktor fundamental dan teknikal.
Jika berbicara faktor fundamental artinya berbicara soal ekonomi jangka panjang. Nah, seharusnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sudah bisa menguat karena defisit neraca perdagangan sudah membaik dan inflasi mulai bisa dikendalikan. Tapi, perlu diingat adanya defisit neraca transaksi berjalan yang masih akan terus berlanjut seiring dengan membengkaknya defisit neraca transaksi jasa. Defisit neraca transaksi jasa itu terjadi karena jasa transportasi dan jasa asuransi asing yang masih banyak dipakai di Indonesia. Selain itu, pembayaran bunga bunga utang luar negeri dan pembalikan hasil keuntungan perusahaan asing ke negara asalnya masih terbilang tinggi. "Jadi, sebagian faktor fundamental memang sudah aman tapi neraca jasanya masih defisit, makanya rupiah melemah," ujar Nugroho. Lalu, faktor kedua adalah faktor teknikal yang meliputi faktor non ekonomi seperti isu politik, keamanan dan lainnya. Faktor teknikal inilah yang menurut Nugroho menjadi biang keladi pelemahan rupiah. "Demokrat tidak mungkin lagi memimpin karena banyak skandal korupsi yang dilakukan kadernya. Jadi, tahun depan pasti ada perubahan kepemimpinan. Perubahan kepemimpinan artinya perubahan kebijakan arah ekonomi. Inilah yang menjadi keraguan bagi para investor," jelasnya. Kondisi ini makin dipersulit dengan sikap maju mundur The Fed yang akan melakukan tapering off. Pelaku pasar masih dibayang-bayangi oleh kekhawatiran terkait hal ini. Lukman Leong, analis Platon Niaga Berjangka menjelaskan, volatilitas rupiah diperkirakan masih akan terus terjadi dalam jangka menengah. Bahkan, pergerakannya cenderung melemah seiring belum stabilnya faktor eksternal. "Selain itu, walau sentimen dan kekhawatiran di domestik sudah mereda, data-data ekonomi yang terakhir masih menimbulkan pertanyaan pada investor terutama pada indikator pertumbuhan ekonomi, Gross Domestic Product (GDP)," jelas Lukman, (8/11). Meski tetap sulit dihindari, tapi dia mengingatkan jika pelemahan rupiah tidak perlu dicemaskan secara berlebihan. Soalnya, penguatan dollar AS juga terjadi tidak hanya terhadap rupiah, tapi juga mata uang regional lain. "Level Rp 12.000 saja kami perkirakan masih akan aman sampai awal tahun depan, asalkan tidak ada faktor x," tutur Lukman.
Kesimpulannya, rupiah yang melemah tidak masalah karena jika penguatannya terlalu drastis juga tidak baik karena rentan dengan masuknya spekulan. Jadi, intinya rupiah itu harus bergerak lebih stabil, bukan volatile. Jika menginginkan rupiah yang lebih stabil, maka sekarang kuncinya ada di soal inflasi. Apabila inflasi kembali meningkat, maka hal ini dapat membuat rupiah melemah tajam apapun itu keadaannya. "Tapi seharusnya rupiah lebih stabil karena sisa tahun ini sudah tidak ada lagi bulan-bulan penting penyumbang inflasi," pungkas Lukman. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Djumyati P.