JAKARTA. Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) melaporkan hasil temuan pelanggaran pemilu legislatif yang berlangsung pada 9 April lalu. Mereka menunjuk tim penyelenggara pemilu hingga calon legislatif ikut menyumbang carut marut pemilu tersebut. Dalam laporannya, KIPP menemukan 420 pelanggaran dari 706 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang dipantau di 31 provinsi dan 65 kabupaten. Adapun 3 provinsi sengaja diabsenkan oleh KIPP yaitu Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, dan Papua."Ada tujuh jenis pelanggaran yakni: manipulasi, politik uang, netralitas penyelenggara, hak pilih, kampanye, profesionalitas penyelenggara, dan logistik," kata Willi Sumarlin, Ketua KIPP, Senin (14/4).Tak heran jika KIPP menemukan banyak kasus penggelembungan suara dan lemahnya Daftar Pemilih Tetap (DPT). Bahkan, ada juga atribut kampanye terpampang di TPS. Dia menilai, fenomena ini akibat kerjasama penyelewengan yang dilakukan penyelenggara pemillu dengan caleg dan partai politik."Kegagalan profesionalisme petugas di daerah untuk petugas KPU 72%, sementara petugas BAWASLU 28%" ujar Willi. Menurut data KIPP tiga besar partai politik yang banyak melakukan pelanggaran adalah Partai Golkar, Partai Gerindra, dan PAN.Selain itu, KIPP menemukan pelanggaran, seperti Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang mempengaruhi pemilih dengan memberikan preferensi. "Ini menunjukkan KPPS masih ada yang belum paham UU Pemilu," ujar Willi.Muhammad Afifudin, koordinator JPPR juga mengungkapkan, kekacauan Pileg 2014 terjadi mulai dari kurangnya surat undangan pemilu, data pemilih, distribusi logistik, dan kecenderungan manipulasi penghitungan suara. Politik uang sudah terasa sejak penyerahan surat udangan, dengan meminta memilih salah satu partai. Praktik money politics ini kian kuat selama masa tenang. "Surat undangan entah bagaimana dikirim ke peserta pemilu dengan embel-embel dapat hadiah dari Demokrat. Lalu kejadian di Bekasi juga dijanjikan oleh Golkar. Ini mengindikasikan adanya persekongkolan jahat di belakang atau dibawah jajaran pekerja," kata Afifudin.Hal ini semakin diperparah dengan janji validitas dan manajemen logistik dalam proses distribusi logistik oleh KPU berjalan macet. "KPU yakin 99% pada H-1 sampai di daerah, tetapi nyatanya belum sampai. Nah ternyata sesampainya sana logistik belum valid," tambah Afifudin.JPPR pun turut menyayangkan gagalnya Bawaslu mengawasi proses distribusi logistik khususnya surat suara, sehingga pengawasan pelanggaran pertukaran surat suara tidak terpantau baik.Menyambut laporan-laporan tersebut, ketua Bawaslu RI, Muhammad juga mengaku, menerima banyak laporan pelanggaran politik uang. Bahkan, setelah pemilu legislatif diselenggarakan, penyelewengan masih ditemukan."Paska 9 April, kami menemukan adanya oknum KPPS yang tidak menyerahkan formulir C1 ke saksi parpol dan Panwaslu, juga tidak menuliskan hasil rekapitulasi C besar ke C kecil,"ujar Muhammad.Meskipun demikian, Muhammad menegaskan tidak diperkenankan pihak manapun berniat menghasut citra Pemilu 2014 sebagai Pemilu yang gagal."Mohon tidak terburu-buru menamakan Pemilu kali ini sebagai Pemilu yang buruk. Bagi Bawaslu, kami optimis untuk komitmen bekerja dengan KPU sekaligus melakukan pengawasan untuk KPU," ujar Muhammad.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Inilah rangkuman pelanggaran Pileg 9 April
JAKARTA. Jaringan Pendidikan Pemilih Untuk Rakyat (JPPR) dan Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) melaporkan hasil temuan pelanggaran pemilu legislatif yang berlangsung pada 9 April lalu. Mereka menunjuk tim penyelenggara pemilu hingga calon legislatif ikut menyumbang carut marut pemilu tersebut. Dalam laporannya, KIPP menemukan 420 pelanggaran dari 706 Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang dipantau di 31 provinsi dan 65 kabupaten. Adapun 3 provinsi sengaja diabsenkan oleh KIPP yaitu Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, dan Papua."Ada tujuh jenis pelanggaran yakni: manipulasi, politik uang, netralitas penyelenggara, hak pilih, kampanye, profesionalitas penyelenggara, dan logistik," kata Willi Sumarlin, Ketua KIPP, Senin (14/4).Tak heran jika KIPP menemukan banyak kasus penggelembungan suara dan lemahnya Daftar Pemilih Tetap (DPT). Bahkan, ada juga atribut kampanye terpampang di TPS. Dia menilai, fenomena ini akibat kerjasama penyelewengan yang dilakukan penyelenggara pemillu dengan caleg dan partai politik."Kegagalan profesionalisme petugas di daerah untuk petugas KPU 72%, sementara petugas BAWASLU 28%" ujar Willi. Menurut data KIPP tiga besar partai politik yang banyak melakukan pelanggaran adalah Partai Golkar, Partai Gerindra, dan PAN.Selain itu, KIPP menemukan pelanggaran, seperti Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang mempengaruhi pemilih dengan memberikan preferensi. "Ini menunjukkan KPPS masih ada yang belum paham UU Pemilu," ujar Willi.Muhammad Afifudin, koordinator JPPR juga mengungkapkan, kekacauan Pileg 2014 terjadi mulai dari kurangnya surat undangan pemilu, data pemilih, distribusi logistik, dan kecenderungan manipulasi penghitungan suara. Politik uang sudah terasa sejak penyerahan surat udangan, dengan meminta memilih salah satu partai. Praktik money politics ini kian kuat selama masa tenang. "Surat undangan entah bagaimana dikirim ke peserta pemilu dengan embel-embel dapat hadiah dari Demokrat. Lalu kejadian di Bekasi juga dijanjikan oleh Golkar. Ini mengindikasikan adanya persekongkolan jahat di belakang atau dibawah jajaran pekerja," kata Afifudin.Hal ini semakin diperparah dengan janji validitas dan manajemen logistik dalam proses distribusi logistik oleh KPU berjalan macet. "KPU yakin 99% pada H-1 sampai di daerah, tetapi nyatanya belum sampai. Nah ternyata sesampainya sana logistik belum valid," tambah Afifudin.JPPR pun turut menyayangkan gagalnya Bawaslu mengawasi proses distribusi logistik khususnya surat suara, sehingga pengawasan pelanggaran pertukaran surat suara tidak terpantau baik.Menyambut laporan-laporan tersebut, ketua Bawaslu RI, Muhammad juga mengaku, menerima banyak laporan pelanggaran politik uang. Bahkan, setelah pemilu legislatif diselenggarakan, penyelewengan masih ditemukan."Paska 9 April, kami menemukan adanya oknum KPPS yang tidak menyerahkan formulir C1 ke saksi parpol dan Panwaslu, juga tidak menuliskan hasil rekapitulasi C besar ke C kecil,"ujar Muhammad.Meskipun demikian, Muhammad menegaskan tidak diperkenankan pihak manapun berniat menghasut citra Pemilu 2014 sebagai Pemilu yang gagal."Mohon tidak terburu-buru menamakan Pemilu kali ini sebagai Pemilu yang buruk. Bagi Bawaslu, kami optimis untuk komitmen bekerja dengan KPU sekaligus melakukan pengawasan untuk KPU," ujar Muhammad.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News