Inilah saham yang berkibar di saat rupiah terbakar



JAKARTA. Nilai tukar rupiah masih kepayahan melawan dominasi dollar Amerika Serikat. Hal itu turut menekan kinerja emiten di Bursa Efek Indonesia. Di awal pekan lalu, rupiah sempat terpuruk hingga titik terendah dalam 17 tahun terakhir di level Rp 13.382 per dollar AS.

Mereka yang terkena imbas negatif antara lain perusahaan yang mengandalkan barang impor sebagai bahan baku produknya. Emiten yang punya utang dollar AS jumbo juga ikut terpapar. Ada yang buntung, ada juga yang untung. Ada emiten yang mendapatkan berkah dari melemahnya mata uang Garuda.

Analis NH Korindo Securities Reza Priyambada menilai, ada segelintir emiten yang paling sedikit mengalami tekanan kurs. “Sebenarnya tidak ada yang diuntungkan, semua emiten terkena tekanan pelemahan rupiah. Tapi, ada beberapa emiten yang sedikit diuntungkan, yaitu mereka yang berorientasi pada ekspor atau pendapatan dari dollar AS,” jelas dia.


Salah satu sektor bisnis yang mendapatkan berkah itu adalah emiten perkebunan, khususnya yang melakukan ekspor produk sawit. Reza menyebutkan dua emiten yang sedikit diuntungkan dari kondisi ini adalah PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI). Namun saat ini emiten sawit tidak dapat menenggak untung dari pelemahan rupiah karena harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) tengah merosot.

Pada Jumat (12/6) lalu, harga CPO untuk pengiriman Agustus 2015 di Bursa Malaysia turun 0,65%% menjadi RM 2.260 per ton. Dalam sepekan terakhir, harga CPO merosot 2,73%.

Analis First Asia Capital, David Nathanael Sutyanto menyatakan, permintaan CPO diprediksi lesu pada tahun ini, sehingga menekan harga komoditas itu. Hal tersebut tecermin dari langkah Bank Dunia memangkas prediksi pertumbuhan ekonomi global pada 2015 dari semula 3,0% menjadi 2,8%. “Emiten perkebunan seharusnya untung dari tekanan rupiah. Sayangnya, harga komoditas sawit masih jelek, ditambah stok CPO di Malaysia membludak,” ujar David.

Merosotnya harga komoditas tergambar dari kinerja keuangan para pekebun CPO. Misalnya, laba bersih AALI di kuartal I 2015 anjlok 80% year-on-year (yoy) menjadi Rp 156 miliar. Hal ini lantaran harga jual rata-rata dan volume penjualan CPO AALI turun masing-masing 12,4% dan 18% (yoy) di kuartal I 2015. Kinerja keuangan LSIP dan PT Tunas Baru Lampung Tbk (TBLA) juga tertekan.

Ketimbang AALI dan LSIP, Kepala Riset Bahana Securities Harry Su lebih menjagokan TBLA. Menurut dia, meski harga CPO menurun, produk minyak goreng kelapa sawit TBLA, yakni Rose Brand, berhasil bertahan dengan menyumbang volume penjualan 42,9 juta ton di kuartal I 2015.

Selain kelapa sawit, TBLA mengandalkan perkebunan tebu. TBLA tengah membangun pabrik pengolahan gula di Terbanggi Besar, Lampung, berkapasitas 8.000 ton tebu per hari. Proyek itu diprediksi selesai pada kuartal IV 2015.

Jika emiten perkebunan masih dipengaruhi koreksi harga komoditas, Harry menyebutkan PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) akan memperoleh untung di tengah pelemahan rupiah. Emiten yang bergerak di bisnis garmen ini telah mengekspor produk tekstil ke 100 negara.

Di kuartal I 2015, SRIL meraih laba bersih US$ 14,84 juta, naik 12,34% ketimbang laba di kuartal I 2014 senilai US$ 13,21 juta. “Keuntungan naik lantaran mayoritas pendapatan dalam dollar AS,” tutur Harry. Volume produksi SRIL tahun ini diprediksi tumbuh 5% hingga 8%. Sedangkan laba bersihnya hingga akhir 2015 diproyeksikan naik 10% (yoy) menjadi US$ 49,23 juta.

Menurut Harry, setiap rupiah melemah 1%, pendapatan SRIL naik 0,2%. Ini sudah termasuk perhitungan utang SRIL dalam dollar AS. Bisnis SRIL masih berprospek cerah. Para analis memberikan outlook positif bagi saham SRIL

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa