JAKARTA. Asosiasi Merek Indonesia (AMIN) memprediksi terdapat tiga sektor yang akan terkena imbas investasi dari China. Sektor itu antara lain sepatu, tekstil dan produk tekstil (TPT), serta elektronik. Potensi membanjirnya investasi baru dari China ke Indonesia itu disebabkan tertutupnya pintu ekspor negara produsen, misalnya China, menuju Uni Eropa dan Amerika Serikat. Hal itu lalu membuat negara produsen itu berupaya mengalihkan produknya ke pasar Asia, termasuk Indonesia. Meski belum memiliki angka detail terkait potensi kerugian masuknya China dan negara produsen lain ke Indonesia, Sekjen AMIN Franky Sibarani mengaku, akan segera merumuskan produk dan industri yang mengalami ancaman serius hal tersebut. "Kami tidak membandingkan per produk, tapi bicara industri secara keseluruhan," ungkapnya, usai jumpa pers, Senin (21/11). Krisis global tidak hanya membuat negara produsen seperti China menjadikan lokasi pemasaran produknya. Sulitnya memasuki pasar tradisional membuat negara produsen mempertimbangkan Indonesia sebagai basis produksi untuk beberapa kawasan seperti Afrika, Timur Tengah, dan Asia. Apalagi, upah buruh di Indonesia masih terbilang murah ketimbang negara asalnya yang mulai mengalami kenaikan harga. Hal tersebut, menurutnya, tidak akan berefek positif untuk pertumbuhan industri dalam negeri. Sebab, pelaku industri asing itu memboyong pabriknya yang tidak berteknologi tinggi. Akibatnya, Indonesia hanya tumbuh tanpa perbaikan dari segi teknologi. Padahal, produk sejenis telah banyak diproduksi di Indonesia. Efek negatif investasi China mulai dirasakan sektor industri elektronik, sepatu, dan TPT. Misalnya, masuknya produsen elektronik asal China yang sebenarnya memiliki teknologi tinggi pada proses produksinya. Sayangnya, perusahaan tersebut memasuki pasar produk yang selama ini diisi oleh perusahaan dalam negeri berteknologi rendah. Apabila perusahaan lokal dibiarkan bersaing secara langsung dengan perusahaan asing yang mendapat dukungan dari negara asalnya maka, menurutnya, industri dalam negeri akan terpuruk secara perlahan. Apalagi, pemerintah tidak memberikan dukungan kebijakan, insentif pajak, keringanan suku bunga perbankan, kemudahan akses logistik, ataupun insentif apabila mencatatkan ekspor yang besar. Hal itulah yang membuatnya ingin mengusulkan pada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) agar tidak sembarang memberi izin investasi. Sebab, sektor industri domestik telah mengalami efek terdesak pelaku usaha asing. "Kami akan usulkan agar pemerintah hanya terima investasi middle atau high techno dan produk yang premium," ucapnya. Selain itu, pemerintah diharapkan dapat memberikan insentif baik secara langsung pada perusahaan bersangkutan atau secara umum agar tidak terpuruk efek membanjirnya investasi asing. Juga, lanjutnya, agar pemerintah mempermudah jalur pendaftaran standar nasional Indonesia (SNI) sehingga tidak memperluas potensi kebocoran ide saat menanti proses SNI yang lama. Kemudian, katanya, pemerintah menetapkan aturan pelabelan bahasa Indonesia pada semua jenis produk, tidak hanya produk pangan. Sebab, produk asing yang berpeluang melemahkan daya saing produk lokal tak hanya berupa pangan. Produk non pangan yang mampu menggeser pangsa pasar produk lokal misalnya komputer. Presiden Direktur PT Zyrexindo Mandiri Timothy Siddik menuturkan, perpindahan perusahaan berbasis teknologi informasi milik China berpeluang mematikan industri domestik. Sebab, China hanya memindahkan pabrik perakitannya ke Indonesia. Akibatnya, produk yang ditawarkan bisa lebih murah. Berbeda dengan produsen komputer dalam negeri yang telah berinvestasi pada pabrik komponen dan perangkat keras. Bahkan, apabila terjadi gejolak di pasar domestik, perusahaan asing itu dengan mudah kembali ke negaranya. "Kalau perusahaan lokal susah seperti itu, investasi kami long term," ujarnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Inilah sektor industri yang diprediksi terimbas banjir investasi China
JAKARTA. Asosiasi Merek Indonesia (AMIN) memprediksi terdapat tiga sektor yang akan terkena imbas investasi dari China. Sektor itu antara lain sepatu, tekstil dan produk tekstil (TPT), serta elektronik. Potensi membanjirnya investasi baru dari China ke Indonesia itu disebabkan tertutupnya pintu ekspor negara produsen, misalnya China, menuju Uni Eropa dan Amerika Serikat. Hal itu lalu membuat negara produsen itu berupaya mengalihkan produknya ke pasar Asia, termasuk Indonesia. Meski belum memiliki angka detail terkait potensi kerugian masuknya China dan negara produsen lain ke Indonesia, Sekjen AMIN Franky Sibarani mengaku, akan segera merumuskan produk dan industri yang mengalami ancaman serius hal tersebut. "Kami tidak membandingkan per produk, tapi bicara industri secara keseluruhan," ungkapnya, usai jumpa pers, Senin (21/11). Krisis global tidak hanya membuat negara produsen seperti China menjadikan lokasi pemasaran produknya. Sulitnya memasuki pasar tradisional membuat negara produsen mempertimbangkan Indonesia sebagai basis produksi untuk beberapa kawasan seperti Afrika, Timur Tengah, dan Asia. Apalagi, upah buruh di Indonesia masih terbilang murah ketimbang negara asalnya yang mulai mengalami kenaikan harga. Hal tersebut, menurutnya, tidak akan berefek positif untuk pertumbuhan industri dalam negeri. Sebab, pelaku industri asing itu memboyong pabriknya yang tidak berteknologi tinggi. Akibatnya, Indonesia hanya tumbuh tanpa perbaikan dari segi teknologi. Padahal, produk sejenis telah banyak diproduksi di Indonesia. Efek negatif investasi China mulai dirasakan sektor industri elektronik, sepatu, dan TPT. Misalnya, masuknya produsen elektronik asal China yang sebenarnya memiliki teknologi tinggi pada proses produksinya. Sayangnya, perusahaan tersebut memasuki pasar produk yang selama ini diisi oleh perusahaan dalam negeri berteknologi rendah. Apabila perusahaan lokal dibiarkan bersaing secara langsung dengan perusahaan asing yang mendapat dukungan dari negara asalnya maka, menurutnya, industri dalam negeri akan terpuruk secara perlahan. Apalagi, pemerintah tidak memberikan dukungan kebijakan, insentif pajak, keringanan suku bunga perbankan, kemudahan akses logistik, ataupun insentif apabila mencatatkan ekspor yang besar. Hal itulah yang membuatnya ingin mengusulkan pada Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) agar tidak sembarang memberi izin investasi. Sebab, sektor industri domestik telah mengalami efek terdesak pelaku usaha asing. "Kami akan usulkan agar pemerintah hanya terima investasi middle atau high techno dan produk yang premium," ucapnya. Selain itu, pemerintah diharapkan dapat memberikan insentif baik secara langsung pada perusahaan bersangkutan atau secara umum agar tidak terpuruk efek membanjirnya investasi asing. Juga, lanjutnya, agar pemerintah mempermudah jalur pendaftaran standar nasional Indonesia (SNI) sehingga tidak memperluas potensi kebocoran ide saat menanti proses SNI yang lama. Kemudian, katanya, pemerintah menetapkan aturan pelabelan bahasa Indonesia pada semua jenis produk, tidak hanya produk pangan. Sebab, produk asing yang berpeluang melemahkan daya saing produk lokal tak hanya berupa pangan. Produk non pangan yang mampu menggeser pangsa pasar produk lokal misalnya komputer. Presiden Direktur PT Zyrexindo Mandiri Timothy Siddik menuturkan, perpindahan perusahaan berbasis teknologi informasi milik China berpeluang mematikan industri domestik. Sebab, China hanya memindahkan pabrik perakitannya ke Indonesia. Akibatnya, produk yang ditawarkan bisa lebih murah. Berbeda dengan produsen komputer dalam negeri yang telah berinvestasi pada pabrik komponen dan perangkat keras. Bahkan, apabila terjadi gejolak di pasar domestik, perusahaan asing itu dengan mudah kembali ke negaranya. "Kalau perusahaan lokal susah seperti itu, investasi kami long term," ujarnya.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News