Inilah syarat Jonan jika EBT mendapat insentif



 JAKARTA. Komitmen pemerintah mengembangkan energi baru dan terbarukan terus dipertanyakan. Lihat saja, sampai saat ini sepucuk surat keberatan dari Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) pada awal Februari lalu tak digubris Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Dalam suratnya, METI meminta Menteri ESDM Ignasius Jonan meninjau ulang Permen No 12/2017 tentang Harga Jual Listrik Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Aturan itu menerapkan harga jual listrik EBT hanya 85% dari biaya pokok produksi. Bahkan harga jual listrik bisa lebih rendah dibandingkan harga listrik EBT sebelumnya, yang bisa mencapai US$ 0,09 per kWh-US$ 12 per kWh.

Jonan juga membandingkan Indonesia dengan pengusaha Arab Saudi, yang berani membeli listrik US$ US$ 0,029 per kWh.Menteri ESDM Ignasius Jonan mengakui, harga tersebut karena Arab Saudi memberikan lahan gratis dan insentif pajak.


Maka, Jonan menantang akan memberikan lahan gratis asalkan harga jual listrik murah. "Tapi kalau ada yang berani janji dengan saya bisa US$ 0,019 per kWh ya kita bicara. Saya carikan tanahnya yang gratis," ujarnya, Kamis (2/3)

.Namun hingga saat ini menurut Jonan, belum ada satupun pelaku industri yang mengajukan tarif EBT seperti di Arab Saudi. Meski begitu Jonan maklum. Kondisi ekonomi, moneter dan fiskal Indonesia berbeda antara Arab Saudi.

"Maka, pemerintah tidak minta US$ 0,019 per kWh. Kalau mau, US$ 0,06 sampai US$ 0,07 mungkin boleh," ujar Jonan.

Dia malah meminta, pelaku usaha listrik di sektor EBT tidak perlu menunggu insentif untuk membangun pembangkit listrik EBT. Ia menyarankan para pelaku usaha tidak perlu terlalu menunggu insentif dan sebagainya.

"Yang perlu itu bagaimana bisa menjual listrik semakin lama semakin kompetitif. Kalau misalnya mengharapkan insentif, bikin hotel juga tahu pelanggannya siapa," terang Jonan.

Pemerintah sudah membuka kesempatan sebesar-besarnya kepada semua komponen masyarakat, badan usaha swasta dan sebagainya ikut membangun, membuat serta menjual listrik kepada masyarakat. Namun Kementerian ESDM tidak bisa memberikan insentif, seperti insentif fiskal.

"Masa undang-undang perpajakan diubah demi pengusaha EBT, tidak mungkin, tidak masuk akal," kata Jonan.

Ketua METI Surya Darma bilang, METI tidak menolak aturan tarif pemerintah. Tapi aturan tarif tersebut tidak memberikan keuntungan memadai kepada pelaku industri. Maka tidak heran jika pelaku industri tidak tertarik mengembangkan EBT.

"Kami capek ketemu dengan pihak perbankan, mereka sering bilang ini tidak feasible. Daya tarik harus kita pikirkan," tegas Surya.

Dia juga mengingatkan Jonan, di Arab Saudi itu ada 12 item yang dilakukan sehingga tarif EBT lebih murah. Di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab misalnya, pajak penghasilan nol. Nah, mungkin tidak Indonesia bisa buat seperti itu? Pajak dividen nol dan sebagainya," ujar Surya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie