Inilah usulan LIPI untuk UU Tenagakerja



JAKARTA. Hasil kajian Pusat penelitian Kependudukan (P2K) LIPI menegaskan bahwa hubungan antara industri dan buruh berada dalam status konflik yang diakibatkan oleh tidak tuntasnya pembahasan revisi UU no 13/2003 tentang ketenagakerjaan yang awalnya dijanjikan akan selesai direvisi pada awal tahun 2012 ini.

Janji revisi tersebut telah dituangkan dalam RPJM 2010-2014 dan Inpres no 1 tahun 2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional serta dalam dokumen MP3EI. Namun pada kenyataannya usulan draft revisi tersebut ditolak dua kali dalam Prolegnas 2010 dan 2011 oleh DPR, namun ironisnya pemerintah menyangkal telah menyerahkan draft revisi tersebut. Menurut peneliti P2K LIPI Titik Handayani, hal ini disebabkan tidak adanya transparansi dalam penyusunan revisi aturan tersebut sehingga tidak ada yang mengakui siapa yang memberikan draft tersebut."Pemerintah tidak melakukan transparansi dalam revisi UU tersebut," ujar Titik. Titik mengatakan LIPI yang juga turut membantu menyusun draft revisi tersebut mengaku telah dikecewakan karena pemerintah tidak menggunakan rekomendasi dari mereka yang sudah melakukan penelitian dan menghabiskan dana dalam merumuskan usulan tersebut.

Ia mengungkapkan terdapat enam poin usulan masalah krusial yang disampaikan oleh LIPI kepada pemerintah sejak akhir tahun 2011 lalu. Poin tersebut ialah mengenai tenaga kerja asing (TKA), hubungan kerja (PKWT dan outsourcing), cuti panjang, pengupahan, mogok kerja, PHK dan pesangon. Dalam kajiannya LIPI menyebutkan bahwa UU Ketenagakerjaan mempunyai kelemahan karena tidak kondusif untuk ketenagakerjaan dan investasi. "Regulasi tersebut kami lihat sangat mahal bagi investasi industri," ujar Titik. Selain itu kritikan lainnya ialah dapat merugikan hak-hak pekerja dan perlindungan pekerja karena banyak ruang pelanggaran, serta beberapa pasal yang bermakna ganda dan tidak konsisten dengan aturan terkait lainnya. Tidak hanya itu aturan ini belum mengakomodasi pekerja informal yang menguasai 70% tenaga kerja. Hal ini semakin diperparah dengan lemahnya peran pengawasan dan penegakan hukum oleh pemerintah jika terjadi pelanggaran."UU ini tidak dilengkapi pasal yang tegas mengenai sanksi jika terjadi pelanggaran," ujar titik. Untuk masalah TKA LIPI menyarankan UU tidak perlu mengatur secara detail namun membutuhkan pasal yang tegas soal definisi dan syarat penggunaan TKA yang mengikuti standar kompetensi, kualifikasi pemberi kerja yang nantinya diatur dalam aturan turunannya. Hal lainnya yang harus diatur ialah peningkatan jumlah dan kompetensi petugas perizinan TKA di pusat dan daerah. LIPI juga meminta para TKA wajib memiliki asuransi dan juga dibutuhkan pasal mengenai sanksi yang tegas. Mengenai perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), LIPI menyarankan bahwa sistem tersebut tetap diperlukan asalkan hak dan perlindungannya terjamin seperti terdaftar dalam Jamsostek. Selain itu LIPI juga menyarankan PKWT harus mempunyai take home pay yang lebih tinggi dibanding pekerja tetap (PKWTT) dan juga diperlukan peningkatan pengawasan. Sedangkan mengenai outsourcing LIPI meminta agar kegiatan outsourcing tidak dapat dilakukan untuk pekerjaan yang sedang dilakukan oleh pekerja tetap /kontrak di perusahaan yang sama. Selain itu LIPI juga meminta agar dilakukan revisi terhadap aturan pengalihan tanggung jawab hubungan kerja dari perusahaan penyedia jasa ke perusahaan pengguna yang menjadikan ketidakpastian status hubungan kerja.


Aturan pemborongan pekerjaan sebaiknya dihapus karena sudah diatur dalam UU KUH Perdata. Selain itu juga harus dilakukan peningkatan pengawasan dan memperketat izin pendirian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan sertifikasi kelayakan. LIPI juga meminta harus dilakukan studi untuk menentukan pekerjaan yang dapat dan tidak dapat dilimpahkan kepada outsourcing. Sedangkan mengenai upah minimum (UM), LIPI meminta agar penetapan UM cukup di tingkat provinsi dan tidak dibagi lagi berdasarkan sektor sehingga bisa mengurangi gesekan antara UM Kabupaten/ Kota dan sektor. Selain itu juga akan mengurangi permasalahan rumitnya penghitungan, politisasi UM, dan efisiensi birokrasi. LIPI juga meminta agar jangka waktu penetapan UM dilakukan dua tahun sekali dengan memperhatikan faktor inflasi dengan jangka waktu yang disepakati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Djumyati P.