KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebagai perusahaan teknologi yang menyerap banyak talenta muda, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) adaptif merespons perubahan preferensi pekerja, terutama generasi Z (Gen Z).
Director Corporate Affairs GoTo Nila Marita menyatakan pihaknya menganut sistem terbuka dan transparan. Karyawan GOTO mendapatkan transparansi dalam berbagai informasi seperti peluang berkarier untuk menunjukkan kemampuan. Tak cuma memberikan wadah untuk tunjuk gigi, GOTO juga memberikan pelatihan yang bertujuan meningkatkan keterampilan karyawan untuk berbagai usia terutama Gen Z. Pelatihan tersebut berbentuk Enginering Bootcamp, Generasi Gigih, dan Associate Product Manager Bootcamp.
“Di GOTO sendiri, karyawannya merasa pekerjaannya lebih bermakna dan memiliki direct impact,” tutur Nila dalam diskusi Universitas Paramadina bertema “Gen-Z & Work Ethic Problem," beberapa waktu lalu. Menurutnya, Gen Z juga menganggap penting arti kontribusi individu dalam memberikan umpan balik, penting untuk merasa di percaya dalam melakukan tugas menggunakan cara masing-masing individu, membangun koneksi dan memprioritaskan kesejahteraan mental. “Sebagai perusahaan teknologi, banyak hal yang tidak terduga di mana fleksibilitas dalam pekerjaan dengan mengadopsi sistem kerja berbasis hasil. Kemudian GOTO memiliki
fun activities yang kegiatan tersebut dilakukan dengan serius antara karyawan dan para pimpinan serta CEO,” papar Nila. Gen Z dan Dunia Kerja Riset Universitas Paramadina dan Continumm mengungkap, sebanyak 62% Gen Z mementingkan ‘pengakuan’ atas harga dirinya dalam mencari pekerjaan. Misalnya terkait gaji atau kompensasi. Contoh lain adalah soal lingkungan kerja, hubungan personal jika gen z tidak cocok dengan value perusahaan maka ia akan dengan mudah keluar dari pekerjaan tersebut. Kecocokan dengan atasan dan rekan kerja dan culture juga turut berpengaruh. Gen Z menginginkan pekerjaan yang short term maka short win atau kecepatan kompensasi setelah proyek berhasil dikerjakan. "Pola pengupahan juga harus disesuaikan, karena Gen Z juga ingin memilih sendiri pilihan-pilihan benefit semisal tunjangan kendaraan, komunikasi dan lain sebagainya” kata Ketua Program Studi Manajemen Universitas Paramadina, Adrian Wijanarko. Adrian mengatakan, Gen Z juga merupakan generasi yang memiliki tekanan internal tersendiri. Pada banyak kasus, Gen Z menjadi tertekan karena sejumlah persoalan pribadi seperti orang tua yang telah pensiun, sementara harus juga memikirkan biaya kuliah adiknya. “Dari sisi tekanan sosial ataupun eksternal, gen-Z apalagi setelah Covid-19, Gen Z merasa nasib mereka ke depan menjadi sangat suram, akibat kecemasan/tekanan ekonomi, ketidakpastian ekonomi global juga menambah sumber kecemasan Gen Z,” tutur Adrian. Adrian memaparkan bahwa dampak ekonomi dari ketidakpastian ekonomi global juga menyebabkan tekanan akibat ketersediaan lapangan kerja yang semakin sulit. Dari sisi literasi keuangan, Gen Z termasuk yang kurang baik, sehingga mereka sering kerepotan dalam pengelolaan keuangan pribadi. Dosen Universitas Paramadina, Tia Rahmania melihat Gen Z akan mengisi 27% populasi kerja pada 2025. “Banyak Gen Z mengalami stres kerja karena tidak bisa menghargai proses dan menjadi bentuk masalah sehingga menjadikan Gen Z punya ambisi dan ekspektasi tinggi,” tutur Tia. Tia memaparkan, saat ini ada fenomena pekerja Gen Z kurang disiplin dan terlalu banyak menuntut, berorientasi pada hasil, work life balance, antilingkungan kerja toxic, kutu loncat dan cenderung pemilih. Pun jika menjadi atasan cenderung menjadikan bawahan partner tanpa melibatkan strata. Karakternya dalam konteks masa remaja atau awal dewasa, merasa krisis identitas, penting terkait teman dekat, moody, merasa orang tua terlalu ikut campur, terlalu kompetitif dan sebagainya. “Saat ini, banyak yang mengadopsi istilah ATM di mana ATM ini sebuah proses amati, teliti dan modifikasi,” imbuhnya.
Career Coach dan Penulis Buku, Rene Suhardono melihat Gen Z tidaklah monolitik sifatnya, sehingga jangan disamakan secara pukul rata semua sifat dan perilaku Gen Z adalah sama. “Kalau ada yang harus disalahkan, maka yang salah adalah para orang tua yang tidak mampu mengelola pengaruh buruk dari perangkat komunikasi gawai dengan berbagai macam aplikasi yang membuat penyakit adiktif,” tegasnya.
Kita harus menghormati semua generasi, tapi harus disadari ada perbedaan dan keunikan dari masing-masing generasi. Mengutip Ryan Jenkins ‘keunikan Gen Z sebenarnya sama saja dengan keunikan dari generasi-generasi sebelumnya’. "Tapi yang paling penting harus diingat dari mereka, mereka adalah pembawa harapan," kata Rene.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Fahriyadi .