Inovasi Keuangan Digital Berpotensi Terus Berkembang, OJK Ingatkan Risikonya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melihat perkembangan teknologi telah mengubah tren perilaku konsumen dan pasar di sektor jasa keuangan. Sehingga, perlu adanya pembaruan digitalisasi dan repositioning model bisnis untuk mengikuti perubahan dan perkembangan, serta reinvention atau penciptaan dan inovasi sebuah model bisnis dan cara kerja baru dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas proses bisnis.

“OJK memandang bahwa Inovasi Keuangan Digital (IKD) merupakan suatu hal yang positif dan perlu di support agar dapat mendorong lembaga jasa keuangan untuk memberikan layanan lebih cepat, mudah, murah dan bisa diakses oleh masyarakat dimana saja,” papar Senior Executive Analyst of Digital Finance Innovation Group OJK, Moh. Eka G. Sukmana secara virtual pada Kamis (14/7).

Namun, selain adanya potensi perkembangan, inovasi keuangan digital juga memiliki risiko, sehingga perlu adanya satu pengaturan. Terkait hal tersebut, OJK membutuhkan dua kebijakan yakni light touch regulation dan safe harbour policy agar IKD tertata dengan baik dan tumbuh berkembang.


Baca Juga: OJK Cabut Izin Dua Koperasi Lembaga Mikro

“Supaya inovasi keuangan digital ini bisa tetap berkembang, namun juga tetap bisa menerapkan tata kelola yang baik dan adanya perlindungan konsumen. Maka, dikeluarkanlah POJK No.13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa yang bersifat principal based, jadi tidak mengatur yang hal-hal bersifat detail,” ujar Eka.

Menurutnya, inovasi keuangan digital harus diatur dengan tujuan mengedepankan perlindungan konsumen, memfasilitasi pengembangan infrastuktur digital supaya lebih efektif dan efisien. Kemudian penguatan regulasi dan pengawasan untuk mencegah disrupsi, memastikan standarisasi dan interoperabilitas, serta mendukung inovasi yang bertanggung jawab juga menciptakan ekosistem keuangan digital.

“Hal tersebut yang menjadi dasar OJK untuk mengatur terkait dengan penyelenggaraan inovasi keuangan digital, pengaturan tersebut adalah bagaimana inovasi keuangan digital tetap berkembang baik dan juga memitigasi risiko,” imbuh Eka.

Managing Director APAC Thought Machine, Nick Wilde mengatakan, setiap perbankan, baik pemain lama maupun baru, perlu memodernisasi teknologinya menjadi lebih digital agar terus eksis dalam persaingan layanan keuangan. 

Melalui digitalisasi, selain kebutuhan nasabah terpenuhi, biaya operasional bagi setiap bank bisa semakin ditekan dan efisien.

Ia tidak memungkiri bahwa modernisasi perbankan memerlukan investasi yang tidak sedikit. Maka dari itu, setiap bank memerlukan komitmen untuk terus melakukan modernisasi digital pada semua proses bisnisnya. Hal ini perlu dilakukan agar bisnis perbankan bisa bertahan dalam jangka waktu yang panjang.

“Bank-bank saat ini saya pikir tengah mengalami persaingan ketat dengan berevolusinya platform ekonomi (GoTo, Bukalapak, Apple, dll). Kita juga bisa melihat bahwa ketika modernisasi sudah dilakukan biaya operasional (sistem digital) akan jauh lebih rendah daripada legacy,” jelas Nick.

Perkembangan digitalisasi yang semakin pesat, tentu semakin membuka berbagai peluang dan inovasi bagi Industri jasa keuangan. Dalam hal ini, Chief Sales and Marketing Officer Soluix Finteknologi Indonesia, Eryco Putra mengungkapkan terdapat peluang bagi perbankan untuk membuka diri dan menawarkan berbagai inovasi layanan keuangan, atau banking as a service.

Baca Juga: Omnibus Law Keuangan Jangan Pangkas Independensi BI dan OJK

Banking as a Service dalah sebuah istilah bagi bank digital dan pihak ketiga lainnya untuk bisa terhubung dengan sistem perbankan secara langsung melalui Application Programming Interface (API). Dengan demikian, bank maupun pihak ketiga bisa membangun penawaran layanan di atas infrastruktur yang telah diatur oleh penyedia layanan.

“Peluang ke depan akan semakin banyak. Misalnya saja Social Commerce (Social Media E-commerce) yang membawa peluang tidak hanya pada ekosistem, tetapi juga pada bank. Bagaimana bank bisa menawarkan solusi (layanan keuangan) yang mudah kepada influencer, pembuat konten, dan SME,” ucap Eryco.

Ia menyarankan agar perbankan tidak terpaku pada sistem bisnis turunan (legacy) yang belum tentu bisa memenuhi kebutuhan ini. Modernisasi pada teknologi, SDM dan proses bisnis perbankan diperlukan untuk menjalankan banking as a service. Meski demikian, kata dia, biaya untuk melakukan investasi pada modernisasi tersebut tidaklah murah.

Namun begitu, Eryco mengungkapkan transformasi digital dalam sebuah perbankan adalah sebuah proses bertahap sehingga bisa dilakukan secara berkala dan sedikit demi sedikit tiap tahunnya. Maka dari itu, perbankan perlu melakukan perencanaan pada pengembangan teknologinya.

Ia menyarankan agar setiap bank dapat membentuk tim pengembangan digital untuk melakukan survei terkait kebutuhan konsumen dan apa saja yang masih perlu ditingkatkan dari sistem saat ini. Dengan demikian, pengembangan secara bertahap dapat terus dilakukan dan tidak membebani keuangan perusahaan secara berkepanjangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi