KONTAN.CO.ID - JAKARTA. The Indonesian Association for The Study of Medicinals atau Asosiasi untuk Studi Obat Indonesia (IASMED) mengingatkan perlunya penguatan regulasi penelitian obat dan alat kesehatan. Hal tersebut untuk memastikan Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dalam ketersediaan obat yang berpotensi menyelamatkan pasien di Indonesia. Berdasarkan kajian yang dilakukan Pharmaceutical Research and Manufacturers of America (PIRMA), hanya ada sekitar 996 obat-obatan inovatif yang beredar di Indonesia. Fakta itu menempatkan Indonesia pada peringkat terendah, di bawah Afrika Selatan jika dibandingkan dengan negara G20 untuk akses obat-obat baru/inovatif. Adapun jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga, peringkat Indonesia sama dengan Vietnam, namun tertinggal oleh Filipina, Malaysia, Thailand dan Singapura.
Tak hanya itu, ketersediaan obat inovatif/baru Indonesia juga termasuk yang paling lama, misalnya dibandingkan dengan Singapura. Di Singapura ketersediaan obat baru memerlukan waktu 25 bulan dari obat tersebut ada, sedangkan Indonesia 40 bulan. Salah satu penyebab kurangnya obat-obatan inovatif tersebut karena kurang atau tidak adanya uji klinis skala global di Indonesia. Kurangnya uji klinis juga berdampak pada terhambatnya pertumbuhan industri farmasi nasional. "Ini ada kaitannya dengan kepesertaan uji klinis skala global di Indonesia," kata Noni Tobing, Perwakilan IASMED dalam diskusi IASMED di Jakarta, Kamis (9/2).
Baca Juga: Ada Kasus Gagal Ginjal Akut Lagi, BPOM Larang Distribusi Obat yang Dikonsumsi Pasien Perwakilan IASMED dan Akademisi Monash University Indonesia, Grace Wangge menyarankan perlunya penguatan regulasi Menteri Kesehatan Nomor 85 Tahun 2020. Menurutnya, perlunya penyempurnaan beberapa aspek dalam regulasi agar proses tata kelola perizinan uji klinis lebih baik dan akuntabilitasnya terjaga. "Beberapa pasal cukup berpotensi kontraproduktif, salah satunya adalah Pasal 31 ayat 2 dan Pasal 35 yang memperpanjang proses birokrasi dan administratif," kata Grace. Dengan adanya penguatan regulasi tersebut diharapkan dapat mendukung terciptanya cita-cita untuk terciptanya ekosistem riset obat, vaksin dan alat diagnostik yang mumpuni dan dalam jangka panjang akan mendukung kemandirian farmasi di Indonesia. “Kami berharap penguatan regulasi ini dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan pengobatan yang bersifat inovatif dan berpotensi untuk memperbaiki kondisi kesehatan mereka," imbuhnya. Tak hanya itu, Grace menambahkan semakin banyaknya penelitian akan memberikan akses bagi para peneliti terhadap studi global. Hingga akan mendorong pertukaran pemikiran dan peningkatan kapasitas, sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik. "Uji klinis tak hanya alat untuk memasukkan obat saja tapi juga memperkuat ekosistem riset dan development. Karena bicara soal obat dan vaksin ini tidak hanya copy paste saja tapi butuh inovasi. Dan ini butuh kerjasama lintas sektoral," tegasnya. Direktur Ketahanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Roy Himawan menyampaikan, Indonesia mengacu konsep pemerintah perlu memastikan perlindungan cukup untuk kekayaan intelektual atau potensi dalam negeri. Maka dibuatlah regulasi mengenai material transfer agreement (MTA). Roy mengatakan, jika dilihat dalam laman Kementerian Kesehatan mengenai uji klinik, jumlah MTA yang dikeluarkan dalam rentang 2009 hingga 2020 semakin meningkat. "Let's say di 2009 mungkin 40% disetujui, tapi angka ini makin meningkat ke tahun 2010 jadi 50%, sampai tahun terakhir dari 18 hanya satu yang ditolak," jelas Roy. Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG), Inge Kusuma menyarankan, adanya solusi komprehensif untuk percepatan adopsi obat-obatan baru yang dapat menyelamatkan hidup pasien. Hingga pada akhirnya akan meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Indonesia, meningkatkan produktivitas yang berkaitan dengan penyakit. Serta menghemat devisa yang ditimbulkan dari orang Indonesia yang bepergian ke luar negeri untuk perawatan medis. Maka menurutnya, Indonesia perlu meningkatkan partisipasi dalam uji klinis skala global, multi sentra yang memenuhi standar Internasional.
Rekomendasi Ini juga mendorong untuk memaksimalkan peran pemerintah sebagai regulator dan pembuat kebijakan untuk memberikan panduan pelaksanaan uji klinis terutama dalam pembuatan perjanjian dengan pihak ketiga, pengawasan dalam pelaksanaan perjanjian, dan diseminasi hasil dari pengawasan tersebut. "Hal ini akan memastikan bahwa uji klinis akan mendapatkan manfaat yang maksimal dan sesuai dengan regulasi yang berlaku di Indonesia serta standar internasional," kata Inge.
Baca Juga: BPOM Beberkan Hasil Uji Laboratorium Obat Sirup Praxion, Aman atau Tidak? Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat