Inpres upah minimum ada celah diintervensi Polri



JAKARTA. Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2013 tentang kebijakan penetapan upah minimum berpotensi menjadi alat legitimasi bagi Kepolisian untuk melakukan tindakan represif terhadap buruh yang tengah menuntut kenaikan upah minimum tahun 2014.

"Dalam Inpres ini, ada instruksi Presiden yang memerintahkan kepada Kepolisian RI untuk 'memantau proses penentuan dan pelaksanaan kebijakan penetapan upah minimum'," kata aktivis Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP), M. Zaki Hussein (22/10).

Dalam instruksi tersebut, lanjut Zaki, Kepolisian 'diharuskan' untuk terlibat dalam proses penentuan upah minimum. "Tidak hanya 'dibolehkan', tetapi justru 'diwajibkan'," katanya.


Hal senada juga dipertanyakan oleh Anggota Komisi IX DPR-RI, Rieke Dyah Pitaloka kepada Kapolri terpilih, Komjen (Pol) Sutarman dalam Rapat Paripurna DPR kemarin (Selasa, 22-10-2013).

Rieke khawatir, keberadaan Inpres tersebut digunakan Kepolisian untuk mengintimidasi para buruh yang tengah melakukan konsolidasi perundingan upah.

“Di Jawa Tengah ada pembubaran paksa dari kepolisian pada acara konsolidasi upah, malah disertai penangkapan," ungkap politisi dari PDI-P ini.

Oleh karena itu, Rieke berharap, agar kepolisian tidak melakukan tindakan represif terhadap buruh, karena Inpres tersebut dinilai inkonstitusional.

"Inpres tersebut ilegal, karena bertentangan dengan UU No 13 Tahun 2003, terutama pasal 97, yang memerintahkan dibentuknya Peraturan Pemerintah (PP) bukan Inpres," tegasnya.

Sebelumnya, para buruh menuntut kenaikan upah minimum 2014 yang besarannya 50 persen. Khusus, di DKI Jakarta, para buruh mendesak kenaikan UMP menjadi Rp 3,7 juta per bulan.

Pada 28-30 Oktober mendatang, rencananya para buruh akan melaksanakan mogok nasional untuk menuntut kenaikan upah minimum 2014.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan