KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberikan bantuan subsidi bunga kredit bagi para pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang berlaku mulai 5 Juni 2020. Beleid ini, tertuang di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 65 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga/Subsidi Margin untuk Kredit/Pembiayaan UMKM Dalam Rangka Mendukung Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Ada beberapa ketentuan yang diatur melalui beleid ini, seperti kriteria debitur yang berhak menerima subsidi, serta batas plafon kredit atau pembiayaan yang bisa mendapatkan subsidi ini ditetapkan dengan nominal paling tinggi sebesar Rp 10 miliar.
Baca Juga: UMKM Lebih Butuh Modal Kerja Ketimbang Subsidi Bunga Adapun di dalam Pasal 8 PMK tersebut, disebutkan bahwa calon debitur yang bisa mendapatkan subsidi bunga atau subsidi margin haruslah memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau mendaftar untuk mendapatkan NPWP. Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP HIPMI) Ajib Hamdani menilai, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kemenkeu memang memanfaatkan PMK ini sebagai sarana ekstensifikasi pajak. "Ini dikarenakan secara
mandatory debitur akan diberikan NPWP secara jabatan. Semua yang mendapat fasilitas restrukturisasi akan secara otomatis mendapat NPWP," ujar Ajib kepada Kontan.co.id, Rabu (10/6). Jadi, tidak menutup kemungkinan bahwa di tahun ini Wajib Pajak (WP) UMKM akan meningkat secara signifikan. Meski demikian, Ajib belum bisa memastikan berapa banyak penambahan WP UMKM seiring dengan adanya aturan ini. Ia bilang, hitungan secara detailnya harus menunggu data dari perbankan yang memberikan program restrukturisasi. "Namun, ketika semua debitur yang memiliki plafon kredit atau pembiayaan kumulatif di bawah Rp 500 juta mendapatkan restrukturisasi, maka semua nasabah Kredit Usaha Rakyat (KUR) akan secara otomatis menjadi WP baru," paparnya. Selain itu, menurut Ajib PMK ini mengandung optimisme, kepastian hukum, dan fasilitas yang ditunggu-tunggu oleh para pelaku UMKM untuk dapat membantu mereka dalam menyediakan ruang likuiditas demi mendukung ketahanan usaha selama masa pandemi. Namun, di sisi lain PMK ini juga sedikit membingungkan, karena terdapat beberapa pasal aturan yang masih ambigu dan multitafsir, sehingga perlu diterjemahkan secara lebih lanjut lagi. Beberapa aturan yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah sebagai berikut. Pertama, mengenai masa berlaku. Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) di dalam PMK, masa waktu pemberian subsidi bunga ini berlaku mulai 1 Mei selama enam bulan ke depan.
Baca Juga: Hore! Insentif bunga bagi UMKM bisa cair, tapi UKM butuh modal kerja agar bangkit Padahal jika melihat kondisi di lapangan, sejak adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11 Tahun 2020, sudah banyak debitur yang mengajukan relaksasi atau restrukturisasi sejak awal Maret 2020, bahkan sebagian besar sudah mendapat program restrukturisasi dari perbankan. Kemudian, pada Pasal 9 ayat (4) secara rigid PMK ini juga mengatur mengenai angka pemberian subsidi bunga atau subsidi margin. Secara terperinci, aturan yang dimaksud adalah apabila nilai plafon kredit di atas Rp 10 juta sampai dengan Rp 500 juta, maka debitur akan mendapat subsidi 6% selama 3 bulan pertama dan subsidi sebesar 3% untuk periode 3 bulan selanjutnya. Sementara itu, untuk pinjaman di atas Rp 500 juta sampai dengan Rp 10 miliar, subsidi bunga yang diberikan adalah sebesar 3% untuk 3 bulan pertama dan 2% untuk periode 3 bulan selanjutnya. "Pertanyaannya, bagaimana dengan debitur yang sudah mendapat skema restrukturisasi, tetapi angkanya berbeda dengan PMK tersebut?," ungkapnya. Kedua, terdapat pada Pasal 9 ayat (3) tentang penyesuaian atas skema pemberian subsidi bunga. Di dalam PMK tertulis, untuk debitur dengan jumlah plafon kredit sebesar Rp 500 juta ke bawah, maka mereka diberikan 2 kali akad kredit. Sementara itu, untuk debitur dengan pinjaman lebih dari Rp 500 juta sampai dengan Rp 10 miliar, hanya diberikan dalam 1 kali akad.
Dengan adanya aturan tersebut, perlu dipertanyakan apakah akad restrukturisasi yang pernah dibuat sebelum tanggal 5 Juni 2020, dianggap sebagai bagian dari akad yang dimaksud dalam PMK ini atau dikecualikan. Meskipun ada beberapa hal yang perlu dicermati, tetapi Ajib berharap, nantinya PMK ini tidak menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda antara debitur dan perbankan. Ia juga berharap PMK ini tidak memberikan celah terhadap ketidakpastian hukum. "Semoga PMK ini dapat menjadi angin segar bagi para pengusaha UMKM dan debitur agar dapat memiliki ruang likuiditas yang lebih fleksibel, serta memiliki napas yang lebih panjang di masa pandemi ini," kata Ajib. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto