Insentif hilirisasi batubara diprediksi terealisasi semester II-2021



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Masih dalam tahap pembahasan, insentif bagi proyek hilirisasi batubara diprediksi baru  akan diimplementasikan pada semester II-2021. Selain itu, hilirisasi batubara juga diharapkan mampu menghemat cadangan devisa (cadev) negara untuk kebutuhan impor LPG. 

"Ground breakingnya kemungkinan di Semester II-2021, untuk batubara fokusnya kemungkinan (insentif) terkait DME dan methanol," kata Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Maritim dan Investasi Septian Hario Seto, Senin (1/3). 

Septian menjelaskan, secara umum terdapat dua strategi hilirisasi yakni untuk meningkatkan ekspor dan selanjutnya untuk substitusi impor.  Terkait meningkatkan ekspor, insentif akan dilakukan dalam bentuk pemberian royalti 0%. Kementerian juga tengah menyiapkan insentif terkait harga khusus batubara untuk hilirisasi dan skema subsidi bagi produk Dimethyl Ether (DME) yang akan dipakai untuk substitusi LPG.

"Kalau normalnya batubara dibakar menjadi listrik, kami melihat hilirisasi batubara untuk menjadikannya DME yang merupakan substitusi LPG. Selain itu untuk dijadikan methanol yang biasa digunakan untuk biodiesel," paprnya. 

Melalui upaya hilirisasi batubara, sisi balanced of payment pada aktivitas impor akan lebih diuntungkan, atau mampu menghemat cadev. Sementara itu, gasifikasi batubara (coal to DME) itu akan ditopang oleh proyek yang sedang digarap PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina (Persero) dan Air Product.

Baca Juga: Pemerintah siapkan subsidi DME dan harga khusus untuk hilirisasi batubara

Septian menjabarkan, salah satu rencana investasi yang sedang dievaluasi yakni proyek PTBA, dimana nilai investasi untuk DME-nya sekitar 1,4 juta ton. Secara ekuivalen, emiten batubara tersebut akan memproduksi LPG 800.000 ton-900.000 ton.

Sementara itu, jika mengacu pada Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) Pertamina 2021, perkiraan harga impor LPG berada di level US$ 411 per MT. Maka, berdasarkan perhitungan Kontan, penghematan devisa yang bisa diperoleh dari hilirisasi batubara ke DME menjadi LPG milik PTBA sekitar US$ 328,8 juta hingga US$ 369,9 juta.

Ke depan, Septian mengungkapkan untuk hilirisasi batubara DME offtaker kemungkinan akan dijual ke Pertamina. Sedangkan untuk methanol memungkinkan untuk di jual ke Pertamina ataupun produsen biodiesel lainnya. 

"Untuk DME kemungkinan hampir 100% ke Pertamina, sedangkan untuk methanol bisa ke pertamina atau produsen lainnya karena marketnya agak lebih terbuka," ujarnya. 

Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batubara Kementerian ESDM, Sujatmiko menjelaskan pemberian insentif berupa royalti sebesar 0% untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2020 dan PP No. 75 Tahun 2021.

"Saat ini Kementerian ESDM bersama instansi terkait lainnya sedang menyusun Rancangan Peraturan Menteri ESDM yang mengatur besaran, persyaratan, dan tata cara pengenaan royalti sebesar 0% sebagaimana diamanatkan dalam PP 75 Tahun 2021," kata Sujatmiko.

Selain itu, Kementerian ESDM juga tengah menyusun Rancangan Kepmen ESDM terkait harga khusus batubara untuk kegiatan Peningkatan Nilai Tambah. Nantinya, penentuan harga khusus akan mempertimbangkan biaya produksi batubara dalam rangka keekonomian tambang dan biaya produksi DME/methanol/syngas/SNG dalam rangka kelayakan proyek gasifikasi.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia menekankan proyek hilirisasi batubara sangat tergantung dengan keekonomian. Dimana, sejauh ini pemerintah sudah menerbitkan beberapa insentif non-fiskal dan fiskal. 

Insentif non-fiskal yang telah dikeluarkan antara lain, jaminan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK yang diatur di dalam UU No. 3/2020. Sedangkan untuk insentif fiskal, pemerintah memberikan tarif royalti khusus 0% utk hilirisasi batubara yang diatur di dalam UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja yang sudah diatur di dalam PP 25/2021.

"Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi keekonomian adalah penetapan tarif royalti bagi pemegang IUPK (eks-PKP2B). Saat ini kami juga belum tahu status RPP-nya seperti apa," ungkap Hendra.

Sebelumnya, Hendra menyampaikan pemberian subsidi untuk pengembangan coal to DME juga dinilai perlu. Mengingat, pemanfaatan DME bisa memberi keuntungan bagi pemerintah berupa penurunan subsidi dibandingkan dengan subsidi untuk LPG. Secara prinsip, dia menjelaskan perlunya subsidi tersebut karena investasi hilirisasi (gasifikasi atau coal to methanol) yang bersifat jangka panjang.

"Kami menunggu realisasi dukungan insentif yang akan diberikan pemerintah," jelasnya.

Selanjutnya: ITMG Memacu Produksi Batubara Tahun 2021 Hingga 19,9 Juta Ton

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi