KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky menilai, insentif yang diberikan oleh pemerintah harus memperhatikan kualitas pertumbuhan ekonomi. Awalil mengatakan insentif yang perlu disiapkan pemerintah untuk menggairahkan permintaan dan daya beli masyarakat harus merupakan bagian dari strategi dan kebijakan mendorong produksi. Peningkatan produksi secara umum artinya kenaikan laju pertumbuhan ekonomi. "Namun, tidak cukup asal besaran yang meningkat, melainkan perlu lebih diperhatikan tentang kualitas pertumbuhan ekonomi," ungkap Awalil kepada Kontan, Rabu (13/11).
Baca Juga: Ada Tax Holiday, Pemerintah Akan Kehilangan Potensi PPh Badan Rp 8 Triliun pada 2025 Menurut Awalil pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tidak dengan serta merta meningkat daya beli masyarakat secara setara, jika yang tumbuh tinggi hanya sektor yang tidak banyak menciptakan lapangan kerja. Atau sektor-sektor yang kurang memiliki kaitan (linkaged) dengan sektor lainnya. Kualitas pertumbuhan ekonomi terkait dengan kekuatan permintaan dan daya beli masyarakat juga berarti kenaikan produksi barang dan jasa oleh berbagai sektor mendorong kenaikan upah atau pendapatan mereka yang bekerja di sektor-sektor tersebut. Di sisi lain, Untuk pekerja menurut Awalil belum perlu ada insentif atau diskon PPh 21. Jenis pajak ini praktiknya dipotong langsung dan Wajib Pajak sudah relatif terbiasa. Jika dipotong, akan menimbulkan dampak psikologis untuk menaikkan kembali. Sedangkan wacana penurunan pajak korporasi, jika korporasi diartikan sebagai pelaku usaha berskala menengah dan besar, maka lebih tidak perlu lagi. "Soal perpajakan selama ini yang disinyalir kurang optimal justru pajak korporasi," ujarnya.
Baca Juga: Upah Tahun Depan Naik, Pengusaha Minta Basmi Pungli dan Tunda Kenaikan PPN 12% Awalil menjelaskan secara umum PPh 21 dan pajak korporasi diturunkan bukan opsi tepat saat ini. Apalagi, pemerintah saat ini sedang kesulitan untuk meningkatkan pendapatannya. Untuk kelas menengah, tidak banyak langkah insentif langsung yang bisa dilakukan tanpa menambah kesulitan fiskal pemerintah. "Insentifnya seperti yang dikatakan di atas mesti dalam konteks kebijakan ekonomi keseluruhan, yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan lebih berkualitas," jelasnya. Sementara di luar soal insentif perpajakan dan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan berkualitas, sebenarnya yang sangat perlu diperbaiki adalah kualitas belanja pemerintah. Kualitas belanja mencakup efektivitas dan efisiensi.
Baca Juga: Keyakinan Konsumen dan Penjualan Eceran Turun, Dikhawatirkan Merembet Tahun Depan Jika nominal belanja dapat ditekan namun tetap bisa menciptakan
output dan
outcome seperti yang diharapkan, maka kondisi fiskal akan membaik.
"Dari kondisi yang membaik tersebut, maka ruang kebijakan menjadi lebih luas, berbagai opsi menjadi lebih terbuka," ucapnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli