Insentif PPN rumah sederhana tak banyak menguntungkan pengembang



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) merelaksasi batas harga rumah sederhana dan rumah sangat sederhana yang mendapatkan insentif pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2019 tentang Batasan Rumah Umum, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa dan Pelajar, serta Perumahan Lainnya yang Atas Penyerahannya Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya mengatakan, kebijakan pemerintah menaikkan batas harga jual rumah yang mendapat insentif pembebasan PPN bertujuan menciptakan keseimbangan suplai dan permintaan di sektor properti, khususnya perumahan. Hal ini juga sebagai bagian dari upaya pemerintah merevitalisasi pertumbuhan ekonomi, terutama di sektor properti perumahan.


Pembebasan PPN untuk rumah sederhana dan rumah sangat sederhana ini juga bertujuan mendukung untuk program pemerintah mewujudkan tersedianya perumahan yang terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah.

Serta, memberi kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah dengan mempertimbangkan meningkatnya harga tanah dan bangunan sesuai usulan dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

"Penyesuaian ini merupakan evaluasi sesudah terjadinya inflasi terutama di sektor properti dan juga dalam rangka menciptakan demand yang cukup bagus sehingga akan memunculkan pertumbuhan ekonomi dengan spill-over yang lebih bagus," ujar Sri Mulyani saat ditemui di DPR, Selasa (28/5).

Kendati begitu, Direktur PT Ciputra Development Tbk (CTRA) Harun Hajadi mengatakan, pembebasan PPN bagi rumah sederhana dan rumah sangat sederhana di bawah Rp 200 juta, sebaiknya disambung juga dengan kontraktor yang membangun rumah tersebut.

"Karena kalau tidak, sebenarnya dari segi cost bagi developer tidak berkurang, malah bertambah. PPN yang dikenakan kepada kontraktor tidak bisa kita offset dengan PPN dari pembeli," ujar Harun kepada Kontan.co.id, Rabu (29/5).

Adapun Harun tetap berharap insentif dari pemerintah ini dapat meningkatkan penjualan. Hanya saja menurutnya, untuk segmen pasar perumahan sederhana maupun rumah sangat sederhana, insentif yang lebih berpengaruh adalah terkait ketersediaan dan kemudahan pembiayaan. "Untuk pembeli kelas Rp 200 juta ke bawah, yang paling penting adalah apakah institusi pembiayaan available," pungkasnya.

Sementara, Pengamat Properti Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan, batasan harga jual rumah bersubsidi ini memang telah dinanti-nantikan para pengembang properti perumahan sejak awal tahun. Di satu sisi, keluarnya PMK ini cukup melegakan lantaran kini pengembang dapat mulai kembali membangun dengan patokan harga yang lebih pasti.

"Batasan harga rumah subsidi ini sebenarnya terlambat keluar sehingga selama satu triwulan pengembang ragu membangun tanpa patokan harga. Patokan harga 2018 sudah tentu tidak bisa digunakan karena berpotensi mengganggu cashflow perusahaan kalau nanti ternyata batas harga berbeda," terang Ali saat dihubungi Kontan.co.id, Rabu (29/5).

Di sisi lain, Ali menilai kebijakan ini memang dapat mendorong permintaan terhadap pasar properti perumahan sederhana atau rumah bersubsidi. Persoalan selanjutnya, menurut Ali, seberapa jauh ketersediaan anggaran rumah bersubsidi yang disiapkan pemerintah tahun ini mampu memenuhi keseluruhan permintaan konsumen.

Dari sisi perpajakan, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, tren penerimaan pajak dari sektor konstruksi dan real estat cenderung stagnan dalam beberapa tahun terakhir. Per Mei lalu, penerimaan PPN sektor tersebut sebesar Rp 23,52 triliun atau hanya tumbuh 2,6% secara tahunan (yoy), jauh menurun dibandingkan pertumbuhan Mei tahun lalu yang mencapai 12% yoy.

"Terlihat penerimaan sektor ini stagnan, artinya dari sisi industri memang tidak tumbuh. Ini yang agak mengkhawatirkan karena sektor yang paling tinggi multiplier effectnya kan sektor properti. Kalau tujuannya memberi insentif, memang seharusnya berani mengorbankan penerimaan dari sektor ini demi efek multiplier," ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (29/5).

Namun, Yustinus menilai, ambang batas yang ditetapkan pemerintah dalam PMK 81/2019 pun masih terlalu rendah, terutama untuk di kota-kota besar seperti Jabodetabek yang hanya Rp 158 juta. Pasalnya, rumah di kota besar sudah sangat sedikit yang berada di rentang harga tersebut.

"Saya khawatirnya kebijakan ini jadi tanggung. Sudah terlanjur dikeluarkan tapi tidak 'nendang' dari sisi insentif. Ada pengorbanan penerimaan, tetapi ya dampak ke ekonomi tidak terlalu besar," ujar Yustinus.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli