Institut Studi Transportasi: Kereta bandara Soekarno Hatta perlu banyak perbaikan



KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Setahun setelah Kereta Api Bandara Soekarno Hatta dioperasikan oleh PT Railink menuai sejumlah kritik dan saran. Utamanya kritik diarahkan pada fasilitas dasar KA Bandara yang dinilai belum dapat diakses dengan mudah dan terkait tiket perjalanan yang dinilai masih terlalu mahal. Mengutip kajian Institut Studi Transportasi, tingkat okupansi KA Bandara masih 26% dengan pukul rata penumpang per hari di rata-rata 5.000 orang. Angka ini dinilai masih terlalu rendah, apalagi mengingat pemerintah memiliki rencana besar adanya peralihan ke transportasi umum sebesar 40% pada tahun 2019 dan 60% pada tahun 2029. Artinya dengan angka okupansi KA Bandara yang masih rendah ini, perjalanan menuju bandara Soetta dengan kereta masih dinilai kurang populer. Direktur Instra Deddy Herlambang memaparkan setidaknya terdapat sejumlah alasan yang menyebabkan rendahnya okupansi ini. Salah satunya adalah lemahnya perencanaan infrastruktur KA Bandara yang berada di luar aktivitas utama kedatangan dan kepergian penumpang.

"Sehingga pengguna harus diantarkan dengan feeder skytrain menuju terminal, menyebabkan publik enggan menggunakan KA Bandara karena dianggap terlalu merepotkan, apalagi bila membawa bagasi yang banyak," katanya, Rabu (9/1). Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setiawarno menyampaikan rendahnya tingkap okupansi ini juga dikarenakan fasilitas pendukung KA Bandara di belum mumpuni. "Bandara itu tidak didesain ada akses kereta. Kalau di negara yang lain kan sudah ada keluar dikit bisa milih mau bus mobil atau kereta," katanya pada Kontan, Rabu (9/1). Hingga saat ini, pihak Railink memang belum memberikan target okupansi untuk kereta ini. "Mengingat kita baru berumur satu tahun di Soetta, maka memang benar masih ada banyak catatan yang harus kita lakukan," kata Direktur Utama Railink Heru Kuswanto kepada Kontan, Rabu (9/1) Namun terkait harga, Heru menyatakan tidak ada opsi untuk penurunan harga lagi karena sudah mempertimbangkan kondisi finansial dan kemampuan dan kemauan beli masyarakat. Menurutnya kalaupun ada opsi untuk penurunan harga, pemerintah harus mengintervensi dengan memberikan dorongan kepada masyarakat. "Bukan memberikan subsidi ke kami, tapi memberikan insentif bisa finansial atau kemudahan lain ke masyarakat," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Azis Husaini