Instrumen berbasis saham jadi favorit MI di tahun 2019, berikut alasannya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2019 telah tiba. Sejumlah sentimen positif maupun negatif kembali akan mewarnai perkembangan pasar keuangan Indonesia. Investor pun tetap dituntut cermat dalam memilih instrumen investasi yang bisa memberi imbal hasil terbaik sepanjang tahun ini.

Direktur Utama BNI Asset Management Reita Farianti mengungkapkan, instrumen berbasis saham berpotensi memperoleh imbal hasil yang paling optimal pada tahun ini.

Sebab, pasar saham domestik diprediksi akan mengalami tren apresiasi yang didorong oleh valuasi saham yang sudah murah dan arus dana dari investor asing. Tren masuknya dana dari investor asing sudah mulai terlihat sejak bulan November dan Desember lalu.


Selain itu, earning per share (EPS) emiten-emiten yang tercatat di bursa juga diproyeksikan tumbuh lebih baik selama tahun 2019.

Pertumbuhan kinerja instrumen berbasis saham juga didukung oleh pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang diyakini akan melaju di tengah kehadiran agenda pilpres. “Kami memprediksi IHSG akan berada di level 7.000 di akhir 2019 nanti,” ujar dia, Sabtu (29/12) lalu.

Direktur Utama Indo Premier Investment Management Diah Sofianti juga menilai bahwa instrumen berbasis saham memiliki potensi imbal hasil yang tinggi pada tahun 2019. Potensi pertumbuhan return saham bisa jauh melampui instrumen berbasis obligasi dan pasar uang jika investor jeli dalam memilih saham dengan fundamental solid.

Namun, jika investor belum memiliki keahlian dalam memilih saham, maka instrumen seperti reksadana indeks atau Exchange Trade Fund (ETF) bisa menjadi pilihan. Pasalnya, dengan memiliki reksadana tersebut, investor sudah mendapatkan kumpulan saham yang mewakili kinerja pasar atau sektor tertentu.

Diah menyampaikan, bagi investor konservatif, reksadana pasar uang bisa menjadi opsi dengan porsi portofolio sekitar 50%-70%. Kemudian diikuti oleh reksadana pendapatan tetap dengan porsi sekitar 20%-50%. “Jika ada dana yang tidak diperlukan untuk lima tahun ke depan, investor bisa menggunakannya untuk membeli reksadana campuran atau saham,” ungkapnya, akhir pekan lalu.

Indra M. Firmansyah, Director & Head of Investment Pinnacle Investment menyebut, kinerja instrumen berbasis saham terbilang mentereng ketika memasuki tahun politik. “Di tahun 2009, return IHSG berada di kisaran 86% sedangkan 2014 di kisaran 21%,” katanya.

Tingginya pertumbuhan kinerja IHSG bisa menjadi modal berharga bagi para investor yang ingin masuk ke pasar saham di tengah agenda politik.

Lebih lanjut, Indra bilang bahwa instrumen berbasis obligasi juga dapat menjadi pilihan menarik bagi investor karena kinerjanya cenderung positif saat berada di tahun politik. Hanya saja, pertumbuhan kinerja obligasi sulit melampaui saham jika pasar dalam kondisi normal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi