Instrumen Investasi Berbasis Dolar AS Kembali Menarik Dilirik, Ini Alasannya



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kenaikan suku bunga yang dilakukan Federal Reserve (The Fed) membuat selisih (spead) antara Fed Funds Rate dengan suku bunga Bank Indonesia (BI) semakin menipis. Pada kondisi ini, instrumen investasi berbasis dolar Amerika Serikat (AS) menarik dipantau.

The Fed meningkatkan suku bunga sebesar 25 bps menuju level 5%-5,25% pada pertemuan FOMC Mei 2023. Sementara, BI 7-DAY Reverse Repo Rate masih tertahan berada di level 5,75%. Ini artinya selisih antara keduanya hanya 50 bps saja yang menjadi selisih paling tipis sepanjang sejarah.

Presiden dan CEO PT Pinnacle Persada Investama Guntur Putra menilai instrumen investasi berbasis dolar AS selalu menarik untuk dicermati. Walaupun pada saat ini memang dari sisi kurs dolar Amerika Serikat (AS) tengah melemah secara keseluruhan karena ekspektasi investor dan pasar terkait perlambatan ekonomi AS.


Dengan selisih yang semakin dekat, instrumen investasi berbasis obligasi dianggap cukup menarik pada saat ini.  Di mana, kemungkinan besar suku bunga The Fed ke depannya akan di jeda lalu bergerak melandai.

Tetapi, Guntur bilang, kondisi ini masih tergantung dari berbagai faktor salah satunya tingkat inflasi Amerika Serikat. Jika Negeri Paman Sam masih sulit memerangi inflasi, maka suku bunga The Fed bisa naik lagi.

Baca Juga: Intip Strategi BNP Paribas Kelola Aset Reksadana Saham

Selisih juga menunggu langkah Bank Indonesia (BI) pada rapat pertengahan Mei mendatang. BI tentunya akan melakukan evaluasi dan pertimbangan untuk menaikkan tingkat suku bunga atau tetap bertahan di level 5,75% yang artinya tidak menaikkan tingkat suku bunga.

Guntur menyarankan investor sebaiknya tetap berinvestasi sesuai dengan tujuan investasi masing-masing. Salah satu jalan untuk mengurangi risiko dengan mendiversifikasikan aset ke berbagai instrumen investasi salah satunya berbasis dolar AS.

Chief Analyst DCFX Futures Lukman Leong mengamati, obligasi pemerintah AS tentu menarik dicermati saat sesilih bunga semakin kecil. Dengan kebijakan suku bunga the Fed yang diperkirakan telah mencapai puncaknya, maka suku bunga obligasi AS akan cenderung turun, hal ini akan menaikkan nilai obligasi tersebut.

Surat Berharga Negara (SBN) juga layak menjadi salah satu portofolio investasi. Imbal hasil obligasi surat utang tanah air diperkirakan masih akan terus turun yang artinya meningkatkan harga SBN.

Selain obligasi, Lukman melihat rupiah akan terus bergerak menguat terhadap dolar AS. Pada kondisi ini, investor dapat memanfaatkan momentum selisih nilai tukar untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar.

Menurut Lukman, kurs rupiah akan terus menguat karena didukung oleh surplus perdagangan berkelanjutan. Terlebih, cadangan devisa akan meningkat secara signifikan setelah adanya revisi pp no. 1 tahun 2019 mengenai Devisa Hasil Ekspor (DHE).

Baca Juga: Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Menguat Sejak Awal Tahun, Simak Prospeknya

"Rupiah juga didukung oleh ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang kuat, serta inflasi yang sudah turun mendekati target BI di kisaran 2%-4%," kata Lukman kepada Kontan.co.id, Kamis (4/5).

Lukman turut merekomendasikan investasi pada CHF yang terus menguat terhadap dolar AS sejak Januari 2021. Sentimen positif untuk mata uang negara Swiss tersebut didukung oleh tingkat suku bunga yang relatif tinggi sebagai mata uang lindung nilai (safe haven).

CHF juga didukung oleh surplus perdagangan dan neraca transaksi berjalan (current account) yang kuat.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari