JAKARTA. Industri telekomunikasi nasional menaruh harapan besar kepada pemerintahan baru. Sejatinya, industri ini berpeluang besar tumbuh pesat. Jumlah penduduk Indonesia yang kini sekitar 260 juta orang, menjadi daya tarik bagi industri telekomunikasi. Apalagi di saat bersamaan, masyarakat Indonesia semakin melek internet. Berkomunikasi di media sosial, terutama bagi masyarakat di kota besar, menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari. Meski berpeluang besar, pertumbuhan industri telekomunikasi jauh dari harapan. Ada dua tantangan besar, yakni jaringan infrastruktur yang belum memadai dan kepastian hukum.
Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informasi diharapkan mampu menciptakan terobosan dan kebijakan luar biasa. Pengamat teknologi, Teguh Prasetya menilai, industri ini butuh serangkaian terobosan kebijakan maupun insentif dari pemerintah baru. Satu tugas utama pemerintah di bidang teknologi informasi dan komunikasi adalah menjamin kepastian hukum. Misalnya, PT Indosat Mega Media (IM2) yang dianggap merugikan negara dalam penggunaan jaringan frekuensi radio 2,1 Gigahertz (GHz). Imbasnya, IM2 mesti membayar denda Rp 1,3 triliun. Mantan Direktur Utama IM2, Indar Atmanto, dijatuhi hukuman penjara 8 tahun. Padahal aturan mainnya, yang wajib membayar biaya frekuensi adalah operator, bukan IM2, yang notabene menyewa dari operator. "Kasus IM2 membuka masukan untuk opini publik ke Mahkamah Agung," ungkap Onno Widodo Purbo, pengamat teknologi informasi. Kasus IM2 menjadi contoh betapa tumpang tindihnya aturan di Indonesia. Sejak 2012, Kemkominfo sudah merestui skema penggunaan jaringan IM2. "Pemerintah harus membereskan aturan yang acak-acakan ini karena pelaku industri butuh kepastian hukum dalam menjalankan usaha," tambah Teguh. Persoalan jaringan infrastruktur tak kalah ruwet. Pemerintah pernah berkomitmenk memfasilitasi seluruh penduduk Indonesia agar terkoneksi internet. Saat ini, baru sekitar 80 juta penduduk yang mencicipi internet. Heru Sutadi, mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia menilai, koneksi internet ke desa juga belum memadai. Tantangan ini harus segera disikapi, misalnya memberikan insentif ke pemain telekomunikasi membangun infrastruktur. Saat ini, pelaku industri yang ingin berekspansi kabel optik masih terkendala regulasi dan maraknya pungutan daerah. Walhasil, koneksi ke desa-desa masih sebatas mimpi. "Ini membuat internet kita kalah saing dan lelet. Pemerintah harus banyak memberi insentif ke industri agar mereka mudah membangun infrastruktur," jelas Heru. Kondisi geografis Indonesia yang terdiri pulau dan dataran tinggi juga menjadi salah satu penghalang proyek infrastruktur. Ditambah lagi, tingkat kepadatan penduduk Indonesia yang berbeda-beda.
Deputi Chief Executive Officer PT Smartfren Telecom Tbk (FREN) Djoko Tata Ibrahim mengatakan, pelaku usaha akan memilih menyediakan infrastruktur telekomunikasi di kawasan berpenduduk padat dengan alasan efisiensi. Maklum, membangun jaringan telekomunikasi memang tidak murah. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) misalnya, untuk membangun fiber optik, operator pelat merah itu setiap tahun menghabiskan investasi 20% dari total pendapatan.
Untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia, TLKM membangun fiber optik dari ujung barat hingga timur Tanah Air. "Sampai saat ini baru Sulawesi," imbuh Arif Prabowo,
VP Corporate Communication TLKM. Tahun depan, TLKM bakal melanjutkan pembangunan fiber optik ke Maluku dan Papua. Menkominfo Rudiantara menyatakan, salah satu program kerja utamanya adalah memperluas jaringan pita lebar. Pemerintah juga bakal meluncurkan program Merdeka Bandwidth. Maklum, akses bandwidth di Indonesia terutama ke luar negeri kalah dibanding negara lain, seperti Singapura atau Korsel. Peningkatan kapasitas bandwidth ini penting untuk mendukung program kerja kementerian lain, seperti e-goverment, program Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar. Implementasi program ini butuh komitmen besar pemerintah. Apalagi, kebutuhan investasi untuk memperluas jaringan pita lebar pasti sangat besar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Sandy Baskoro