JAKARTA. Stabilitas Bank Indonesia (BI) untuk menjaga rupiah pada bulan Juli boleh dibilang besar. Adanya penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dalam valuta asing berdenominasi Euro sebesar 1,25 miliar euro ternyata tidak membuat pundi cadangan devisa membengkak. Posisi cadangan devisa pada akhir Juli 2015 tercatat US$ 107,6 miliar, turun US$ 400 juta dari posisi akhir Juni yang sebesar US$ 108,0 miliar. Penurunan ini disebabkan adanya peningkatan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah serta penggunaan devisa untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), level rupiah pada 1 Juli 2015 adalah Rp 13.331 per dollar Amerika Serikat (AS) kemudian melemah 1,13% ke level Rp 13.481 per dollar AS pada 31 Juli 2015. Depresiasi yang cukup besar ini membuat BI merogoh kocek cadangan devisa lebih lebar. Dengan perkembangan tersebut, nominal cadangan devisa US$ 107,6 miliar ini masih cukup membiayai 7 bulan impor atau 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan dalam situasi pasar keuangan yang bergejolak menanti kenaikan suku bunga Amerika, maka BI sebagai otoritas moneter harus menjaga stabilitas rupiah. Menjaga stabilitas rupiah berarti BI hadir di pasar memberikan pasokan dollar. "Untuk itu BI harus menggunakan cadangan devisa, tapi cadangan devisa kita masih sangat baik," ujarnya, Jumat (7/8). Soal rupiah, ia menjelaskan situasi penguatan dollar AS terjadi karena Bank Sentral Amerika The Fed mau menaikkan suku bunga acuannya. Kemungkinan kenaikan baru terjadi pada bulan depan dan selama kenaikan belum terjadi pasar keuangan negara berkembang bakal goyang. Bila dibandingkan dengan negara lain, BI melihat pelemahan rupiah masih termasuk dalam kategori terkendali. Mata uang Eropa yaitu Euro terdepresiasi sekitar 10% dan Australia dollar sekitar 11%. Mata uang rupiah pun diakuinya menguat terhadap mata uang dollar Australia, Selandia Baru, dan Euro sebesar 2%. "Jadi sebenarnya Indonesia bukan sesuatu yang unik kalau mata uangnya melemah. Yang lain juga melemah," terangnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Intervensi rupiah, BI: Cadangan devisa masih baik
JAKARTA. Stabilitas Bank Indonesia (BI) untuk menjaga rupiah pada bulan Juli boleh dibilang besar. Adanya penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dalam valuta asing berdenominasi Euro sebesar 1,25 miliar euro ternyata tidak membuat pundi cadangan devisa membengkak. Posisi cadangan devisa pada akhir Juli 2015 tercatat US$ 107,6 miliar, turun US$ 400 juta dari posisi akhir Juni yang sebesar US$ 108,0 miliar. Penurunan ini disebabkan adanya peningkatan pengeluaran untuk pembayaran utang luar negeri pemerintah serta penggunaan devisa untuk stabilisasi nilai tukar rupiah. Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), level rupiah pada 1 Juli 2015 adalah Rp 13.331 per dollar Amerika Serikat (AS) kemudian melemah 1,13% ke level Rp 13.481 per dollar AS pada 31 Juli 2015. Depresiasi yang cukup besar ini membuat BI merogoh kocek cadangan devisa lebih lebar. Dengan perkembangan tersebut, nominal cadangan devisa US$ 107,6 miliar ini masih cukup membiayai 7 bulan impor atau 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan dalam situasi pasar keuangan yang bergejolak menanti kenaikan suku bunga Amerika, maka BI sebagai otoritas moneter harus menjaga stabilitas rupiah. Menjaga stabilitas rupiah berarti BI hadir di pasar memberikan pasokan dollar. "Untuk itu BI harus menggunakan cadangan devisa, tapi cadangan devisa kita masih sangat baik," ujarnya, Jumat (7/8). Soal rupiah, ia menjelaskan situasi penguatan dollar AS terjadi karena Bank Sentral Amerika The Fed mau menaikkan suku bunga acuannya. Kemungkinan kenaikan baru terjadi pada bulan depan dan selama kenaikan belum terjadi pasar keuangan negara berkembang bakal goyang. Bila dibandingkan dengan negara lain, BI melihat pelemahan rupiah masih termasuk dalam kategori terkendali. Mata uang Eropa yaitu Euro terdepresiasi sekitar 10% dan Australia dollar sekitar 11%. Mata uang rupiah pun diakuinya menguat terhadap mata uang dollar Australia, Selandia Baru, dan Euro sebesar 2%. "Jadi sebenarnya Indonesia bukan sesuatu yang unik kalau mata uangnya melemah. Yang lain juga melemah," terangnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News